Sundari | Minggu, 14/05/2017 15:32 WIB
Oesman Sapta Odang saat dilantik menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Jakarta - Pada pekan lalu, beredar kabar sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi ini dilakukan untuk melaporkan temuan internal penyalahgunaan anggaran yang dilakukan Pimpinan bersama Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPD.
Aksi melaporkan itu tak terbukti dan terkonfirmasi akan dilakukan pada Senin (15/5). Seorang sumber anggota
DPD mengatakan, kedatangannya ke KPK untuk menyampaikan hak anggota
DPD sesuai konstitusi yang dirampok atas nama tata tertib. "Sekaligus melaporkan beberapa temuan internal belanja kesekjenan," ujar sumber itu.
Tanpa alasan tuduhan `rampok` hak anggota
DPD itu. Pasalnya, telah dibuat Surat Pernyataan yang meminta anggota
DPD tandatangan. Ada dua poin; pertama agar menyetujui pelaksanaan dan menghadiri sidang paripurna
DPD dan kegiatan atau rapat alat kelengkapan di bawah kepemimpinan Pimpinan
DPD yang dilantik pada 4 April 2017.
Poin selanjutnya, dalam hal ketidakhadiran pada sidang paripurna
DPD dan kegiatan atau rapat-rapat alat kelengkapan, pengadministrasiannya sesuai ketentuan dalam peraturan tata tertib
DPD nomor 4 tahun 2017.
Nah, surat inilah yang dianggap pemaksaan. Ada kesannya anggota
DPD dipaksa untuk mengakui Oesman Sapta Odang alias
OSO sebagai Ketua
DPD yang dilantik pada 4 April 2017. "
DPD sudah seperti dikelola kayak perusahaan. Seenaknya menggunakan aturan semaunya. Dana reses dicairkan kalau anggota sudah tandatangan surat pernyataan mengakui
OSO sebagai Ketua (
DPD)," ujar sumber itu.
"Itu bertentangan dengan UU No.17 pasal 257-258 terkait hak dan kewajiban anggota. Padahal reses adalah agenda pokok dalam rangka menjalankan sumpah jabatan," ujar sumber itu.
Untuk belanja kesekjenan, sumber jurnas ini juga membeberkan adanya duplikasi anggaran dan perjalanan Sekjen ke luar negeri dengan membawa istri yang dalam Sumber Biaya Umum (SBU) sebagai anggota
DPD. "
OSO dan Sekjen yang akan dibeberkan kepada KPK nanti," ujarnya.
Sekjen
DPD, Sudarsono Hardjosoekarto yang dikonfirmasi mengatakan dirinya tidak mendengar ada rencana anggota
DPD ke KPK. Sedangkan terkait duplikasi dan membawa istri ke luar negeri itu, dia hanya mengatakan, semua APBN selalu diperiksa oleh BPK, dan
DPD selalu WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) selama 10 tahun berturut turut.
"Sekali lagi, penggunaan APBN pasti diperiksa BPK, dan kami sudah pengalaman diperiksa setiap tahun. Dan hasilnya pencapaian kinerja terbaik WTP selama 10 tahun berturut-turut," tegas Sudarsono.
Bagaimana dengan keluarnya surat pernyataan itu, Sekjen Sudarsono mengatakan, tata kelola administrasi keuangan itu keputusan sidang paripurna 8 Mei setelah didahului rapat Panitia Musyawarah (Panmus) di pagi harinya. "Sekjen melaksanakan keputusan Sidang Paripurna, yg kuorum dihadiri oleh 72 Anggota dengan sejumlah anggota izin," ujarnya.
"Sampai Jumat (12/5) sore sudah ada 104 anggota yg tanda tangan, sisa 26 anggota akan menyusul. Yang tidak tanda tangan juga tidak apa-apa, hanya dana reses disetor kembali ke Kas Negara. Masih ditunggu sampai akhir masa reses pada 4 juni," ujarnya.
KEYWORD :
Senator Berpolitik OSO DPD