Jum'at, 03/05/2024 15:54 WIB

Korea Selatan Umumkan Rencana Selesaikan Pertikaian dengan Jepang

Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol berusaha memperbaiki hubungan dengan Jepang di tengah program nuklir dan rudal Korea Utara yang berkembang.

Menteri Luar Negeri Korea Selatan Park Jin berbicara selama pengarahan yang mengumumkan rencana untuk menyelesaikan perselisihan tentang kompensasi orang yang dipaksa bekerja di bawah pendudukan Jepang tahun 1910-1945, di Kementerian Luar Negeri di Seoul, Korea Selatan, 6 Maret 2023 (Kim Hong- Ji/Pool melalui Reuters)

JAKARTA, Jurnas.com - Pemerintah Korea Selatan mengumumkan rencana menyelesaikan perselisihan yang sudah berlangsung lama tentang pemberian kompensasi kepada orang-orang yang dipaksa bekerja di pabrik dan tambang Jepang selama Perang Dunia II.

Rencana yang disambut dengan protes langsung di Korea Selatan tetapi dipuji sebagai bersejarah oleh Amerika Serikat (AS), datang ketika Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol berusaha memperbaiki hubungan dengan Jepang di tengah program nuklir dan rudal Korea Utara yang berkembang.

Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Park Jin mengatakan para mantan pekerja, yang sebagian besar kini berusia 90-an, akan diberi kompensasi melalui yayasan publik yang didanai oleh perusahaan sektor swasta daripada oleh perusahaan Jepang yang terlibat dalam kerja paksa.

Pemerintah Korea Selatan pertama kali mengajukan proposal tersebut pada Januari, memicu reaksi dari para korban dan keluarga mereka karena tidak memasukkan kontribusi dari perusahaan Jepang, termasuk yang diperintahkan oleh pengadilan Korea Selatan untuk membayar reparasi, seperti Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries.

Sekitar selusin pengunjuk rasa berdemonstrasi saat Park membuat pengumuman tersebut.

"Ini adalah kemenangan penuh Jepang, yang mengatakan tidak dapat membayar satu yen pun untuk masalah kerja paksa," Lim Jae-sung,  pengacara untuk beberapa korban, mengatakan dalam sebuah unggahan Facebook pada Minggu, mengutip laporan media awal dari kesepakatan tersebut.

Sementara itu, oposisi utama Partai Demokrat mengecam rencana itu sebagai diplomasi tunduk. "Ini hari yang memalukan," kata An Ho-young, juru bicara partai, dalam sebuah pernyataan.

"Perusahaan Jepang yang terlibat dalam kejahatan perang menerima kesenangan bahkan tanpa bergerak, dan pemerintah Jepang berhasil menghilangkan masalah dengan memiliki rahmat untuk mengulangi pernyataan masa lalu," sambung dia.

Masalah kerja paksa, serta perbudakan wanita Korea Selatan di rumah pelacuran militer Jepang, telah mengganggu hubungan Korea Selatan-Jepang selama beberapa dekade.

Jepang, yang menduduki semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga 1945, menegaskan semua klaim yang berkaitan dengan era kolonial telah diselesaikan dalam perjanjian bilateral yang ditandatangani pada tahun 1965 yang menormalkan hubungan antara kedua negara bertetangga tersebut.

Di bawah perjanjian itu, Korea Selatan, yang saat itu diperintah oleh Presiden otokratis Park Chung-hee, menerima paket bantuan ekonomi $300 juta dan pinjaman sekitar $500 juta dari Jepang.

Perjanjian tersebut memicu protes massal secara nasional, mendorong pemerintah untuk mengumumkan darurat militer.

Namun keluhan terus membara, dan pada tahun 1995, Perdana Menteri Jepang saat itu Tomiichi Murayama mengeluarkan pernyataan mengakui penderitaan yang disebabkan oleh "pemerintahan dan agresi kolonial" Jepang dan membuat "permintaan maaf yang mendalam", khususnya kepada para wanita yang dipaksa menjadi budak seksual, yang secara halus dikenal sebagai "wanita penghibur".

Beberapa dekade kemudian, pada tahun 2015, kedua negara mencapai penyelesaian baru tentang masalah “wanita penghibur”, dengan Tokyo menyiapkan 1 miliar yen ($9,23 juta) untuk membantu para korban.

Namun pada tahun 2018, mantan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in membubarkan dana tersebut, dengan mengatakan bahwa dana tersebut tidak cukup untuk mempertimbangkan kekhawatiran para korban.

Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung negara tersebut memerintahkan Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries Jepang untuk memberikan kompensasi kepada beberapa pekerja paksa.

Putusan pengadilan meningkatkan ketegangan, dengan Jepang membatasi ekspor bahan berteknologi tinggi ke Korea Selatan, dan Korea Selatan meluncurkan boikot barang-barang Jepang.

Sumber: Al Jazeera

KEYWORD :

Korea Selatan Jepang Kerja Paksa Wanita Penghibut




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :