Sabtu, 27/04/2024 20:30 WIB

Perangi Stigma, OYPMK di Madura Beri Edukasi soal Kusta

Perangi Stigma, OYPMK di Madura Beri Edukasi soal Kusta

OYPMK asal Madura, Abdul Salam (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Pengalaman adalah guru yang terbaik. Demikian keyakinan yang dipegang erat oleh Abdul Salam, yang saat ini aktif sebagai salah satu peer support (dukungan sebaya) kusta di Bangkalan, Madura.

Salam merupakan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) sejak tiga tahun terakhir. Dia pernah divonis kusta pada 2019 lalu, setelah di bagian wajahnya muncul bercak putih yang terasa kebas saat dipegang.

"Ada keluar bercak di muka. Bahasa maduranya kalau di muka itu kora`. Kora` itu alergi makanan biasanya. Selain itu, bercak di badan disebut panu. Saya awalnya meyakini itu," terang Salam kepada Jurnas.com pada Jumat (20/1) lalu.

Salam yang sama sekali tidak memahami kusta, sempat membeli obat panu untuk bercak tersebut. Alih-alih sembuh, bercak-bercak itu malah muncul di beberapa bagian tubuhnya. Puncaknya, ketika terdapat luka yang justru tidak terasa sakit.

Di tengah kebingungan tersebut, keluarga dan tetangga menyarankan Salam memeriksakan diri ke puskesmas, supaya mengetahui perihal penyakitnya. Benar saja, bercak dan luka di tubuhnya merupakan gejala kusta.

"Saya diperiksa dan ternyata saya kusta. Saya kaget. Kan saya tidak tahu kusta itu apa. Akhirnya, setelah dijelaskan saya dikasih semangat dan saran agar jangan minder. Saya juga diminta siap kontrol dan minum obat rutin selama satu tahun," ungkap dia.

Selagi menjalani pengobatan dengan mengonsumsi MDT (multi-drug-therapy), seperti halnya pasien kusta pada umumnya, Salam juga mengalami efek samping kulit menghitam.

Sayangnya, karena efek samping inilah dia malah mendapatkan stigma dari masyarakat. Termasuk, muncul dugaan bahwa Salam sakit karena disantet.

"Sampai tetangga menyarankan ke orang tua saya untuk periksa ke dukun, khawatir saya kena santet. Orang mengira itu karena melihat fisik saya, seakan-akan dikasih kiriman santet. Cuma, saya bodo amat. Saya tetap konsultasi ke puskesmas terdekat," tutur Salam.

Singkat cerita, Salam akhirnya sembuh. Dia bersyukur keluarga memberikan dukungan penuh untuk kesembuhannya. Bahkan, keluarganya juga mengonsumsi obat pencegah kusta, usai mengetahui Salam mengalami kusta.

"Saking mendukungnya, setiap obat saya mau habis, pasti ditanya terus. Seandainya tidak dapat dukungan, saya pasti berhenti (minum obat) di tengah jalan," sambung Salam.

Belajar dari pengalaman ini, Salam membuka dirinya untuk berbagi pengetahuan soal kusta di masyarakat. Dia menyebut, masih banyak masyarakat di tempatnya yang memandang negatif pasien kusta maupun OYPMK.

Salam mencontohkan, ada kasus seorang suami yang ditinggalkan oleh istrinya setelah ketahuan bahwa sang suami mengalami kusta. Penyebabnya, keluarga istri menilai bahwa kusta merupakan indikasi orang berdaging jelek.

"Sempat dari petugas puskesmas yang menangani kusta diajak pasien itu bertemu dengan istri untuk menjadi mediator. Tapi ditolak," ujar dia.

Kepada masyarakat, Salam juga selalu mengulang-ulang penjelasan bahwa kusta bisa disembuhkan, dan obatnya tersedia secara gratis di puskesmas. Adapun bila pasien kusta telah berobat, maka tidak akan menularkan kepada yang lain.

Tak hanya aktif turun ke masyarakat untuk melakukan sosialisasi kusta, Salam turut memberikan konseling terhadap pasien kusta, agar mereka tidak bosan dalam menjalani pengobatan.

"Saya cari tahu juga apakah mereka dapat dukungan atau tidak. Kalau tidak, kita berikan konseling bagaimana agar dia tidak down," jelas Salam.

Dengan bergabung sebagai peer support ini, Salam berharap agar tidak ada lagi pasien kusta yang merasa minder ketika berinteraksi di masyarakat. Dia juga tidak ingin ada masyarakat yang telat berobat.

"Kusta itu kan kalau terlambat diobati, selain menular juga nantinya mengalami disabilitas. Ini yang saya tidak mau," tutup dia.

Dilansir dari laman NLR Indonesia, kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Kendati menular, kusta hanya akan menular jika terjadi kontak langsung dan berulang-ulang dalam waktu lama. Dan kusta tidak akan menular jika OYPMK sudah menjalani pengobatan.

"Kusta tidak dapat menular jika seseorang hanya bersentuhan sekali atau dua kali dengan pasien kusta," demikian bunyi keterangan tersebut.

Adapun pengobatan MDT (multi-drug-therapy) disediakan oleh pemerintah secara gratis dan tersedia di seluruh puskesmas, dengan durasi pengobatan enam hingga 12 bulan. OYPMK yang telah meminum dosis pertama MDT tidak lagi memiliki daya tular.

Diketahui, NLR Indonesia merupakan organisasi nirlaba di bidang penanggulangan kusta dan konsekuensinya, termasuk mendorong pemenuhan hak anak dan kaum muda penyandang disabilitas akibat kusta dan disabilitas lainnya. Saat ini NLR Indonesia telah melakukan kemitraan strategis dengan berbagai pihak di 12 provinsi.

KEYWORD :

Kusta Edukasi Kesehatan OYPMK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :