Minggu, 28/04/2024 05:36 WIB

Perusahaan Sawit Wilmar Grup Dituding Praktik Monopoli

Tiga grup itu adalah Wilmar, Musim Mas, dan Sinas Mas

Demo Petani Sawit di kantor Wilmar Grup yang dianggap menjalankan praktik monopoli

Jakarta, Jurnas.com - Para petani sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melancarkan aksinya di kantor  Wilmar Grup di Jakarta, Selasa (15/11). Perusahaan Sawit ini dianggap  melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Sekjen SPKS, Masuetus Darto mengatakan, Wilmar Grup tidak sehat dalam industri sawit dan program biodiesel sehingga merugikan petani sawit di daerah. "Sudah melaporkan kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), tapi hingga saat ini lembaga tersebut belum menanggapi," ujarnya.

Aksi petani sawit dari 20 Kabupaten ini meminta kepada KPPU segera menindaklanjuti dugaan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu. "Dan meminta Pemerintah agar 10 grup perusahaan sawit penerima subsidi terbesar termasuk Wilmar yang paling besar keuntungannya dari subsidi ini segera diaudit,” ujar Darto.

SPKS menengarai tiga grup Perusahaan Sawit yang disubsidi Pemerintah untuk menjalankan program mandatori Biodiesel diduga melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. "Tiga grup itu adalah Wilmar, Musim Mas, dan Sinas Mas," ujar Darto.

SPKS menilai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini makin terjaga karena difasilitasi oleh kebijakan pemerintah yang menggelontorkan subsidi bagi grup perusahaan sawit tersebut sejak program mandatori B20 hingga saat ini menjadi B30.

Dalam kajian yang dilakukan SPKS mencatat terdapat 10 terbesar grup perusahaan sawit yang menjalankan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) jenis biodiesel yang menerima subsidi dari dana sawit selama periode 2019-2021.

Di antaranya  Wilmar  sebesar  Rp22,56  triliun,  Musim  Mas  Rp11,34 triliun, Royal Golden Eagle Rp6,41 triliun, Sinar Mas Rp5,53 triliun, Permata Hijau Rp5,52 triliun, Darmex Agro Rp5,4 triliun, Louis Dreyfus Rp2,9 triliun, Sungai Budi Rp2,56 triliun, Best Industry Rp2 triliun, dan First Resources Rp1,9 triliun.

Terungkapnya kasus mafia minyak  goreng yang ditangani oleh Kejaksaan Agung dalam beberapa bulan lalu, Darto mengatakan,  seharusnya menjadi momentum bagi KPPU untuk mengusut tuntas beberapa grup perusahaan yang diduga menjadi pelaku dibalik masalah tersebut.

Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di industri sawit makin terjaga karena adanya perluasan lahan yang melampaui batas dalam aturan hukum.

"Penguasaan suplai bahan baku, produksi dan ekspor oleh segelintir grup perusahaan sawit kelas kakap yang juga ditopang oleh kebijakan subsidi dalam program hilirisasi mandatori biodiesel," ujar Darto.

SPKS mencatat total pungutan ekspor CPO pada periode tahun 2019-2021 mencapai angka Rp70,99 triliun. Dalam periode tersebut (2019-2021) dana subsidi yang disalurkan kepada grup perusahaan sawit yang terintegrasi dengan BU BBN jenis biodiesel sebesar Rp 68 triliun.

Wilmar menjadi grup yang paling diuntungkan dari subsidi biodiesel dengan penerimaan hampir 3 kali lipat dari jumlah pungutan ekspor yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). "Dalam catatan SPKS dengan selisih antara pungutan ekspor dan subsidi biodiesel, Wilmar memperoleh surplus sebesar Rp 14,8 triliun," ujar Darto.

Namun dari keuntungan ini, tidak ada program-program inovatif yang dilakukan perusahaan Seperti Wilmar untuk petani sawit di lapangan, justru banyak petani sawit sekitarnya menjual ke tengkulak.

“Tidak memperkuat SDM Petani dan nihil mengembangkan ISPO-RSPO untuk petani sawit. Sementara klaim Perusahaan ini selalu dengan jargon sustainability. Ini kan praktek greenwashing,” tegas Darto.

Tidak hanya itu, keuntungan perusahaan makin  berlipat ganda, Ketika terjadi penghentian ekspor kelapa sawit beberapa waktu lalu, semua perusahaan membeli murah TBS (Tandan Buah Sawit) Petani, "tetapi kemudian mereka menjual dengan harga yang tinggi saat ini, ini Namanya Industry untung petani buntung," katanya.

Hal yang lebih ironis, surplus yang diterima oleh perusahaan sawit besar seperti Wilmar, tidak sebanding dengan alokasi dana sawit untuk kebutuhan dasar petani sawit.

Dalam periode tahun 2015-2019, realisasi untuk program peremajaan sawit rakyat atau PSR hanya sebesar Rp2,7 triliun, pengembangan SDM sebesar Rp 140,6 miliar, dan pengadaan sarana- prasarana sebesar Rp1,73 miliar.

“Jika ketiganya digabungkan, totalnya bahkan tidak mencapai 10% dari total dana Rp47,28 triliun yang dihimpun BPDPKS dalam periode tersebut’, tegas Darto.

Darto mengatakan bahwa kebijakan pungutan ekspor CPO maupun tax atau bea keluar jelas menekan harga TBS yang diterima petani sawit, atau dengan kata lain, sumber pungutan bukan saja dari perusahaan sawit tetapi juga dari 41,35% (Data BPS 2019) perkebunan yang dikelola oleh rakyat.

"Sayangnya, dana ini bukannya dikembalikan kepada petani, melainkan untuk subsidi industri biodiesel. Ini menandakan alarm serius bahwa kebijakan dana sawit tidak berpihak terhadap petani sawit," ujar Darto lagi.

KEYWORD :

Perusahaan Sawit Wilmar Grup SPKS




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :