Sabtu, 20/04/2024 10:21 WIB

Kebijakan Pemerintah Hapus Tarif Pungutan Ekspor Sawit Dinilai Masih Setengah Hati

Kebijakan pemerintah hapus tarif pungutan ekspor sawit dinilai masih setengah hati.

Ketua Umum Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), Pahala Sibuea pada acara Ngopi Sawit yang mengangkat tema `Petani Dukung Harga Sawit Tidak Diganjal Pajak dan Terus Melangit`, di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu 20 Juli 2022. (Foto: Supianto/Jurnas.com)).

JAKARTA, Jurnas.com - Kebijakan pemerintah menghapus tarif pungutan ekspor (PE) menjadi USD 0 dalam rangka meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani dinilai masih setengah hati.

Demikian kata Ketua Umum Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), Pahala Sibuea pada acara Ngopi Sawit yang mengangkat tema `Petani Dukung Harga Sawit Tidak Diganjal Pajak dan Terus Melangit`, di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (20/7).

"Kalau menurut kami sebagai ketua POKSI, PE ini setengah hati. Karena yang kami harapkan sebenarnya sesuai dengan petisi kami itu PE dan bea keluar (BK) ini harus nol dulu atau minimal PE nol dan PK-nya dikecilkan," ungkap Pahala.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kemenkeu.

Dalam revisi PMK tersebut, tarif pungutan ekspor yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), untuk semua produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya menjadi nol.

Kebijakan tersebut akan berlaku sementara, terhitung sejak diundangkan 15 Juli 2022 hingga 31 Agustus 2022. Sementara dimulai 1 September akan berlaku kembali tarif maksimal US$ 240/ton untuk harga CPO di atas US$ 1500/ton.

Terkait hal ini, Pahala mengingatkan agar mewapadai kebijakan tersebut, lantaran pola kebijakan yang diambil semestinya dilakukan diskusi yang mendalam dengan mengikutsertakan petani yang menerima dampak langsung dari kebijakan tersebut.

"Mau kami regulasi ini jangan dilaksanakan dulu sebelum regulasi yang mengatur PE maupun BK ini nanti harus diperbaiki dulu. Diajak kami bermusyawarah bagaimana cara melakukan pemungutan itu supaya tidak memberatkan petani," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang organisasi dan Anggota Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin mengatakan, pencabutan sementara PE minyak sawit sesuai regulasi PMK Nomor 115/2022, belum bisa menjadi solusi dalam meningkatkan harga TBS Sawit petani.

"SPKS itu melakukan pemantauan harga TBS setelah pencabutan pungutan dan sampai sekarang memang harga TBS itu di anggota-anggota SPKS di sekitar 14 kabupaten dan 5 provinsi di bawah Rp 1.000 per kg," kata Sabarudin.

Lebih lanjut, Sabarudin menilai, pencabutan sementara PE minyak sawit sesuai regulasi PMK Nomor 115/2022 terlambat lantaran harga TBS sudah di bawah Rp 1.000 per kg.

"Pencabuan ini kami anggap terlambat karena sekarang itu sudah hancur. (Harga sawit) petani-petani sawit sudah di bawah Rp 1.000 dan kalau di bawah 1.000 itu sudah mempengaruhi beberapa hal," katanya.

Sabarudin juga menilai bahwa PMK Nomor 115/2022 yang diterbitkan Kemenku  sudah bermasalah sejak awal.

"Pemerintah juga kalau dari kami melihat tidak belajar dari pengalaman-pengalaman karwena sejak 2015 suara petani sawit terkait PE saya kira sudah banyak. Bahwa pungutan sawit ekspor telah mempengaruhi TBS di tingkat petani," ungkapnya.

Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia – Perjuangan (APKASINDO – Perjuangan) , Alvian Rahman meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap besaran BK dan pungutan ekspor yang saat ini diterapkan.

Lantaran belajar dari negara lain, dalam kondisi ini mereka menerapkan pajak ekspor dengan nilai yang rendah misalnya Thailand hanya sekitar 7 persen, Malaysia 3 persen, dan Vietnam sebesar 13 persen. "Indonesia justru menerapkan pungutan dan pajak sebanyak 60 persen," tandas Alvian.

KEYWORD :

Tarif Pungutan Ekspor POPSI Pahala Sibuea SPKS Sabarudin




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :