Minggu, 12/05/2024 11:45 WIB

Legislator PKS Soal Energi Bersih: Indonesia Jangan Mau Didikte Pihak Asing

Dia menekankan, Pemerintah Indonesia juga harus berani bersikap mendahulukan kepentingan nasional sebelum mengakomodasi kepentingan negara-negara lain. Dalam masalah ini Indonesia jangan mau didikte oleh negara lain.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Pemerintah harus proporsional dan realistis menyikapi isu yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim yang diadakan di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11).

Hal itu sebagaimana diutarakan anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto dalam pesan elektronik yang dipancarluaskan, Senin (1/11).

Dia menekankan, Pemerintah Indonesia juga harus berani bersikap mendahulukan kepentingan nasional sebelum mengakomodasi kepentingan negara-negara lain. Dalam masalah ini Indonesia jangan mau didikte oleh negara lain.

"Sebagai wujud dari pergaulan masyarakat internasional, tentu kita mendukung berbagai inisiatif strategis dan kesepakatan internasional terkait perubahan iklim dan langkah-langkah mitigasinya. Namun sebagai negara berdaulat, yang mengedepankan kepentingan nasional (national interest), yakni keamanan dan kesejahteraan rakyat, kita perlu cermat, hati-hati dan tidak didikte oleh pihak luar," kata Mulyanto.

Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini menyebutkan, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan Pemerintah Indonesia terkait komitmen dunia internasional terhadap masalah perubahan iklim ini.

Pertama, lanjut dia, terkait target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris, di mana sebesar 29 persennya diupayakan Indonesia atas usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.

Terkait soal ini, masih kata Mulyanto, Pemerintah harus berani menagih komitmen negara-negara maju untuk mendukung secara finansial negara berkembang dalam melaksanakan agenda perubahan iklim yang sudah disepakati.

Tak hanya itu, Indonesia harus dapat memastikan bahwa kesepakatan tersebut bukan sekedar janji manis negara maju kepada negara berkembang, khususnya Indonesia.

"Dalam Perjanjian tersebut disepakati bahwa negara maju akan menggelontorkan dana sebesar USD 100 milyar/tahun sejak 2020 untuk membantu negara berkembang melaksanakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Dari dana sebesar Rp 1.400 triliun tersebut, kita perlu tahu berapa yang akan mengalir ke Indonesia," kata Mulyanto.

Dia melihat beberapa negara maju sebenarnya menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam melaksanakan isi perjanjian tersebut. Karenanya, pesan Mulyanto, Indonesia harus berhati-hati dalam membuat komitmen tentang perubahan iklim ini. Jangan sampai Indonesia mendapat getah dari kesepakatan internasional.

"Krisis energi yang melanda Inggris baru-baru ini, yang berkomitmen penuh untuk menutup PLTU-nya, ternyata juga sulit ditepati. Demi menyelamatkan rakyatnya Pemerintah Inggris kembali menghidupkan pembangkit listrik batu bara mereka. Begitupula China. Bagi negara-negara ini kepentingan nasional mereka adalah yang utama," ujar Mulyanto.

"Karena itu bangsa Indonesia, di tengah pandemi yang belum usai; tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah; serta sumber daya batubara domestik yang berlimpah, tidak bisa serta-merta mengikuti maunya asing untuk menutup semua PLTU kita.  Lalu menggantinya dengan pembangkit listrik dari sumber energi yang lebih mahal dengan mengorbankan rakyat atau membengkaknya subsidi negara”, imbuh Mulyanto.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VII DPR PKS Mulyanto Konferensi Tingkat Tinggi Emisi Gas




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :