Sabtu, 27/04/2024 04:55 WIB

PKB Anggap Pemerintah Tak Tegas Sikapi Eks WNI Kombatan ISIS

Diskusi reboan DPP PKB

Jakarta, Jurnas.com – Pemerintah memutuskan untuk tidak memulangkan eks warga negara Indonesia (WNI) kombatan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

Hal ini diputuskan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat bersama jajaran menterinya di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).

Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan Yaqut Cholil Qoumas menilai sikap pemerintah itu sudah tepat dan baik. Kendati begitu, ia menilai sikap pemerintah tersebut bersayap.

”Apa yang dikatakan pemerintah dengan tidak akan memulangkan eks kombatan ISIS itu menurut saya bersayap. Ada satu pertanyaan, kalau pulang sendiri gimana atau difasilitasi yang lain itu bagaimana? Apa sikap pemerintah? Kemarin itu tidak dijelaskan,” ujarnya di sela Diskusi Reboan bertajuk ”Kombatan ISIS Tidak Dipulangkan, What’s Next?” di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020).

Menurut Ketua Umum GP Ansor itu, pemerintah seharusnya menjelaskan bahwa selain tidak memulangkan eks kombatan ISIS, apakah pemerintah juga akan menghalangi ketika mereka pulang baik secara sukarela atau atas fasilitasi organisasi atau kelompok lain. ”Ini tidak ada ketegasan dari pemerintah,” katanya.

Selain itu, Gus Yaqut juga mempertanyakan soal penggunaan data jumlah eks kombatan ISIS yang mengacu pada data CIA.

”Kenapa pakai data CIA? Kayak kita ini enggak punya lembaga inteligen saja. Kita ini punya BIN, kita punya BAIS. Menko Polhukam ngomong berdasarkan data yang diberikan CIA ada sekian ratus WNI yang jadi kombatan ISIS. Itu kan menurut saya ini kayak menafikan lembaga inteligen yang kita punya,” kata anggota Komisi II DPR RI ini.

Dia khawatir data yang disampaikan CIA bahwa ada sebanyak 689 WNI tergabung ISIS hanyalah data untuk permainan saja.

”Kita tahu lah, salah satu produsen terorisme kan Amerika. Jangan-jangan data ini data mainan saja? Ya kita nggak tahu karena ini yang ngomong CIA,” tuturnya.

Menurut Gus yaqut, akan lebih kredibel jika pemerintah menggunakan data hasil penelusuran intelijen sendiri. ”Kalau saya ngomong ada 600-an, jangan-jangan kalau menurut BIN lebih dari itu, bagaimana coba?” katanya.

Gus Yaqut berharap dalam upaya melakukan deradikalisasi agar melibatkan peran serta masyarakat.

”Jangan menganggap deradikaliasasi dalam frame project. Ini kan ancaman serius, bukan hanya project. Kalau tak melibatkan masyarakat maka kita wajib mencurigai pemerintah pakai frame project,” katanya.

Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional Dinna Wishnu mengatakan, ISIS merupakan salah satu bukti bahwa proxy war itu nyata adanya.

Dijelaskan, proxy war merupakan perang tidak langsung yang sebenarnya diciptakan oleh negara-negara besar untuk menggali manfaat langsung dari ketegangan-ketegangan dan ketakutan-kekuasaan di wilayah wilayah tertentu.

”Artinya tangan mereka tidak harus kotor langsung sehingga orang tidak bisa melacak secara persis siapa pelaku negaranya, tetapi segala konsekuensinya akan ditanggung oleh negara-negara yang kena imbas, baik yang terdekat maupun yang sektor strategisnya juga akan terganggu,” tuturnya.

Dia mencontohkan di Timur Tengah, perang yang terjadi hampir selalu kaitannya dengan minyak dan gas. Karena itu, menurutnya, Indonesia penting untuk memikirkan konteks proxy war karena masih terus diciptakan dan dipakai oleh negara-negara besar, bahkan lebih sering dipakai ketimbang pada masa perang dingin masih berlangsung.

”Artinya negara-negara besar ini memang ingin menciptakan satu fasad, lapisan luar yang tidak tembus pandang, tidak nyata langsung dari luar bahwa mereka melakukan hal-hal yang sebenarnya patut dikritisi dan ditolak di tingkat internasional,” katanya.

 

Sementara itu, Analis Konflik dan Terorisme Alto Luger mengapresiasi respons cepat pemerintah atas keinginan sebagian besar WNI untuk tidak membuat masalah dengan memulangkan eks kombatan ISIS ke Indonesia.

Namun, menurutnya masih banyak pekerjaan rumah (PR) pemerintah, misalnya soal proses identifikasi 689 orang ini apakah semua teroris atau tidak. Kedua, sudah ada deportan yang kembali ke Indonesia.

Pemerintah seharusnya memiliki mekanisme yang baik agar baimana mereka tidak kembali bergabung dengan ISIS atau kelompok radikal lainnya.

”Pencegahan yang tertintegrasi dengan rehabilitasi itu menjadi PR pemerintah. Jadi bukan soal pemulangan saja,” tuturnya.

Sementara itu, Sekjen DPP PKB Hasanuddin Wahid mengatakan, penanganan soal eks kombatan ISIS ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Setelah mereka tidak dipulangkan, harus jelas apa langkah selanjutnya.

”Harus ada penyelesaian menyeluruh. Ini persoalan hajat hidup rakyat Indonesia, bahkan dunia. Dan tak ada negara yang tak melihat ISIS ini sebagai sebuah persoalan,” katanya.

Hasan mengatakan, pergerakan ISIS ini tak hanya perang di darat, tapi juga ada pergerakan di dunia maya yang sangat massif. ”Bahkan ISIS di dunia maya tujuh kali lipat lebih susah diatasi dibanding ISIS yang didarat. Kata mereka seperti Perang Salib,” katanya.

Pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah untuk tidak memulangkan 689 WNI yang tergabung ISIS. Sebab, berdasarkan sudut pandang usul Fikih, kemaslahatan umum harus didahulukan dari kemaslahatan khusus.

"Artinya, sekitar 680 orang eks kombatan ISIS itu khoso (khusus) sementara 250 juta masyarakat Indonesia ini umum,” katanya.

Hasan mengatakan, masalah ISIS ini harus dilihat dari semua spektrum. Baik terkait keamanannya, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan semuanya.

"Yang bahaya adalah klaim kebenaran berdasarkan pemahaman agama yang sempit. Sekarang terjadi pembakuan teks kitab keagamaan, tanpa melihat secara kontekstual. Ini yang memunculkan gesekan dan kedangkalan. Bahasa pokoknya “harus”, padahal kebenaran itu harus dilihat kontekstual juga,” tuturnya.

KEYWORD :

Kombatan ISIS Diskusi Reboan PKB




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :