Jum'at, 26/04/2024 20:11 WIB

Daerah Cenderung Tidak Sejalan Dengan Kebijakan Pusat

Paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi dinilai hanya lips sevice karena belum efektif dirasakan masyakarat.

Refleksi Akhir Tahun Kaukus Muda Indonesia (KMI)

Jakarta - Dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjalan dan sudah 14 paket kebijakan ekonomi diterbitkan. Sayangnya, ke 14 paket kebijakan ekonomi itu hanya lips sevice karena belum efektif dirasakan masyakarat.

Penilaian ini disampaikan oleh ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira dalam sebuah diskusi Akhir Tahun bertajuk "Refleksi Bidang Ekonomi 2016" yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia (KMI) bersama Bank BRI, di Gedung Dewan Pers, Jakarta.

Bhima menyebut, meski pemerintah telah menggelontorkan aneka kebijakan untuk membangkitkan gairah perekonomian nasional, pemerintah daerah justru berlomba menimbun uang di bank. Hal itu mengakibatkan, adanya kesenjangan kebijakan antara pusat dan daerah dalam persoalan ekonomi yang merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat dan pengusaha.

Ia menjelaskan , data yang dirilis pemerintah pusat menyebutkan bahwa serapan anggaran di beberapa daerah sangat jauh dari target. Hingga Juni ini, anggaran yang belum terpakai sebesar Rp 214 triliun. Per 31 Maret 2016, serapan anggaran hanya 8 persen di tingkat kabupaten/kota dan 8,3 persen di level provinsi. Di sisi lain, target yang ingin dicapai adalah 20 persen.

"Adapun Provinsi Jawa Barat, walaupun berada di atas rata-rata nasional, tetap jauh dari pencapaian ideal. Jawa Barat berada di posisi ke-14, dengan serapan anggaran 10 persen, kalah jauh dibanding Provinsi Lampung (16 persen) dan Jawa Timur (17 persen)," bebernya.

Menurutnya, masalah timbunan dana pemda di bank ini sebenarnya berasal dari dua faktor utama. Pertama, adanya ketakutan kriminalisasi bagi pejabat di daerah sehingga banyak proyek yang sengaja ditunda.

"Kepala daerah tidak mau mengeluarkan anggaran karena bisa ditangkap KPK. Alasan ini lemah karena sudah ada aturan untuk melindungi kepala daerah dari kriminalisasi, asalkan taat prosedur," katanya.

Kedua, alasan yang sifatnya lebih teknis, seperti ketidaksesuaian perencanaan program dengan realisasi di lapangan yang membuat lelang akhirnya tertunda. Hal ini juga yang membuat Presiden geram dalam rapat pembahasan TPID (Tim Penanggulangan Inflasi Daerah) beberapa waktu lalu.

"Enggannya pemerintah daerah dalam menurunkan anggaran tentu tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat yang ingin segera menggenjot perekonomian," tambahnya.

Karena itu, meski pun di level pusat, sudah ada 14 kebijakan untuk menggerakan sektor riil, mendukung gairah dunia usaha, dan membangkitkan kembali UMKM. Namun jauh panggang dari api, rupanya ada keengganan atau boleh disebut kemalasan daerah untuk sejalan dengan program pemerintah pusat tadi.

"Akibat kurang sinergisnya pemerintah pusat dan daerah tecermin dari kinerja perekonomian saat ini. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016, yang tumbuh 5,18 persen lebih, disebabkan oleh realisasi investasi yang meningkat karena adanya sentimen Brexit dan tax amnesty," terang Bhima.

Sementara, Ketua Kebijakan publik APINDO Danang Girindrawardhana menjelaskan, kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah itu hanya membuat para penginvestor berminat untuk menginvestasikan dana untuk Indonesia tetapi tidak ada yang terealisasikan.

"Kalau Indonesia ingin mendapatkan investasi dari pihak asing lebih baik kebijakan tersebut harus banyak yang direvisi," tegasnya.

KEYWORD :

Refleksi Akhir Tahun KMI Paket Kebijakan Ekonomi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :