Rabu, 22/05/2024 04:19 WIB

Warga Sayung Demak Mengadu Komisi II DPR Soal Pembebasan Lahan Tol

Pembebasan lahan pembangunan jalan Tol Semarang-Demak menuai polemik. Pembebasan lahan milik warga dianggap menimbulkan ketidakadilan karena harga yang sangat rendah dari negara.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang saat menerima aduan warga Sayung, Demak, Kamis (10/6). (Foto: Dok. Jurnas)

Jakarta, Jurnas.com - Pembebasan lahan pembangunan jalan Tol Semarang-Demak menuai polemik. Pembebasan lahan milik warga dianggap menimbulkan ketidakadilan karena harga yang sangat rendah dari negara.

Hari ini (Kamis, 10/6), sebanyak 47 orang warga Sayung Demak, mengadu ke Komisi II DPR RI yang membidangi pertanahan untuk menyampaikan sejumlah keluhan. Para warga sudah mengajukan keberatan kepada Pelaksana pengadaan tanah di Demak, tetapi tak juga direspons, pun kepada DPRD Demak dan DPRD Jateng.

Perwakilan warga, Prof Dr Hanif Nurcholis MSi menyampaikan keberatannya atas penetapan harga yang ditetapkan Negara untuk kepentingan jalan tol Semarang-Demak atas tanah hak milik mereka. Disebutkan perbuatan negara melelang proyek jalan tol ini adalah perbuatan ijon, karena negara menjual pekerjaan konstruksi diatas tanah padahal tanahnya belum ada.

"Kami keberatan karena Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan tugasnya nyata-nyata merugikan rakyat pemilik tanah," tegasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR terkait permasalahan pertanahan, di ruang Komisi II, gedung DPR, Jakarta, Kamis (10/6).

Pada saat melelang proyek ini, tanah belum dibebaskan dan masih dalam penguasaan pemiliknya. Negara baru membebaskan tanah pada tahun 2020, karena sudah melelang proyek jalan tol maka saat membebaskan tanah milik petani, Negara melakukan manipulasi dan intimidasi.

"Pelaksana Pengadaan Tanah saat menyampaikan rencana pembebasan tanah dihadapan petani pemilik tanah membangun narasi intimidatif dan manipulatif," kata Prof Hanif.

Pelaksana Pengadaan Tanah memanipulasi fakta, sebab yang sebenarnya yanah milik petani itu bukan tanah negara tapi tanah hak milik berdasarkan hak adat norowito. Pelaksana juga mengintimidasi pemilik tanah agar mau mengikhlaskan tanah miliknya dibeli Negara dengan harga berapapun.

"Jika menolak dicap sebagai warga negara yang tidak mendukung pembangunan dan ditakut-takuti akan berhadapan dengan lembaga peradilan dan dipastikan kalah," terangnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, lanjut Prof Hanif, pihaknya bersama 47 pemilik tanah lainnya menilai Pelaksana Pengadaan Tanah melanggar ketentuan Perpres No 71 Tahun 2012. Khususnya Pasal 66 yang mengatur bahwa nilai ganti kerugian ditetapkan oleh Penilai yang dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan bentuk ganti kerugian.

Kemudian Pasal 68 yang mengatur bahwa Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan musyawarah dengan Pihak yang Berhak. Ternyata ia tidak melaksanakan musyawarah. Ia hanya menyampaikan harga secara sepihak. Pemilik tanah sama sekali tidak diajak musyawarah.

Berikut Pasal 70 yang mengatur bahwa dalam hal belum tercapai kesepakatan, musyawarah dapat dilaksanakan lebih dari satu kali. Ternyata meskipun saya dan 47 orang lainnya belum sepakat atas harga dan/atau bentuk kerugian yang ditetapkan Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.

"Saya dan 47 orang  pemilik tanah  lainnya dipaksa untuk tanda tangan  menolak. Tidak ada musyawarah kedua dan ketiga," pungkasnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang merasa prihatin. Menurut dia, Presiden Joko Widodo sudah konsen melaksanakan program percepatan pembangunan nasional di berbagai daerah. Apalagi, visi besar Presiden Jokowi itu tidak dijabarkan dan dieksekusi dengan baik dilapangan. Akibatnya, banyak permainan dibawah, salah satunya menyangkut kemunculan mafia tanah.

"Setuju pembangunan, tetapi pembangunan tidak boleh melanggar HAM. Tidak boleh begitu!  Boleh kita membangun, membuat negara ini bagus, tapi kalau masyarakat hancur, ngapain. Masyarakat menangis karena pembangunan, kan tidak boleh. Harus sesuai aturan. Kasihan Pak Jokowi. Ini terjadi karena sudah menjadi bagian, menjadi sindikasi mafia tanah," tegas dia usai RDPU.

Junimart menekankan, demikian usai menerima audensi dari lima kelompok masyarakat terkait permasalahan/sengketa tanah di Ruang Rapat Komisi II DPR RI. Salah satu kelompok masyarakat itu berasal dari masyarakat Sayung, Demak, Jawa Tengah, yang mengadukan permasalahan tanah hak miliknya yang digunakan untuk pembangunan jalan tol Semarang - Demak.

Politisi PDIP itu mengungkapkan, lima kelompok masyarakat yang mengadukan permasalahan tanah diterima Komisi II dan nantinya dibawa ke Rapat Pleno. Dari pleno, nantinya akan diputuskan tindaklanjutnya dengan berkoordinasi dengan instansi terkait, termasuk turun ke lapangan melihat langsung permasalahannya.

"Secara hukum pertanahan, seseorang bisa ajukan sertifikat tanah apabila dia sudang menguasai selama 20 tahun berturut-turut tanpa henti, maka dia bisa mengajukan sertifikat. Ketika saya mempergunakan tanah tersebut, maka saya bisa mengajukan dokumen tanah ke instansi terkait. Dia bayar PBB, Bayar Ipeda, ini yang harus diungkap," jelasnya.

"Ini negara kita kan lagi aneh-aneh. Saya sudah punya sertifikat tanah 20 tahun, bahkan sudah dikuasai nenek moyang kami sebelum kemerdekaan, tapi bisa seketika dibatalkan oleh Kementerian Kehutanan, dengan alasan itu kawasan hutan, ini kan aneh-aneh," sambung Junimart yang politisi PDIP ini.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi II DPR Junimart Girsang Pembebasan Lahan Demak Sertifikat Tanah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :