Senin, 29/04/2024 10:08 WIB

Inilah Delapan Potensi Korupsi dalam Tata Kelola Obat

Sektor kesehatan selalu jadi perhatian dan pantauan KPK.

Ilustrasi Obat-obatan (suaranews.com)

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan delapan potensi korupsi dalam tata kelola obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Lembaga antirasuah ini meminta pihak terkait untuk membenahi persoalan tersebut agar terhindar dari korupsi.

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat menggelar jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2016). Menurut Alex, persoalan itu berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pihaknya.

Kajian itu sendiri dipaparkan di hadapan pemangku kebijakan terkait. Di antaranya, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito.

Menurut Alex, sektor kesehatan merupakan salah satu yang menjadi perhatian pihaknya. Alex menegaskan, KPK akan memantau perbaikan tata kelola JKN.

"Kami akan terus memantau rencana perbaikan yang akan dilakukan masing-masing pemangku kepentingan," ujar Alex.

Alex lebih lanjut menerangkan delapan persoalan itu. Antara lain Ketidaksesuaian Formularium Nasional (FORNAS) dan E-catalogue, aturan perubahan FORNAS yang berlaku surut melanggar azas kepastian hukum, mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal dan tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue.

Kemudian, ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan FORNAS FKTP, belum adanya aturan minimal kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah, belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat, serta lemahnya koordinasi antar lembaga.

Terkait ketidaksesuaian FORNAS dan e-catalogue, kata Alex, FORNAS seharusnya disusun untuk mengendalikan mutu, sedangkan e-catalogue dibuat guna mengendalikan biaya. Akan tetapi, fakta di lapangan tidak semua obat FORNAS tayang di e-catalogue. Sebaliknya, lanjut Alex, justru ada obat yang tidak masuk FORNAS tetapi tayang di e-catalogue.

"Kondisi ini mengakibatkan terdapat obat yang tidak memiliki acuan harga sebagai dasar BPJS Kesehatan membayar klaim. Selanjutnya juga menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan obat karena tidak semua obat yang dbutuhkan tersedia," terang Alex.

Alex lebih lanjut menjelaskan persoalan lain terkait ketidakakuratannya RKO sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Data RKO yang dihimpun Kementerian Kesehatan dari Dinkes dan Faskes saat ini disebut belum akurat. Sebab, belum semua pihak menyampaikan RKO sebagai dasar pengadaan obat di e-catalogue.

Tak hanya itu, data RKO yang ada melenceng jauh dari realisasi belanja obat. Hal itu dinilai menimbulkan kerugian pada industri farmasi lantaran ketidakpastian pemenuhan komitmen yang telah mereka berikan.

"Ini tentu saja menimbulkan kondisi kekosongan stok obat atau kelebihan stok obat," terang Alex.

Sebab itu, KPK mendorong para pihak melakukan perbaikan yang komprehensif dan terpadu. Tak hanya itu, KPK juga merekomendasikan Kementerian Kesehatan untuk menerbitkan aturan yang belum ada, melakukan perbaikan dan singkronisasi aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan FORNAS, serta penyusunan RKO dan pengadaan melalui e-catalogue.

Lembaga antirasuah juga mendorong sinergi LKPP dan Kemenkes dalam menyempurnakan aplikasi yang telah dibangun agar terintegrasi. Kemenkes juga diminta melakukan proses monev sebagai dasar evaluasi kebijakan pengadaan obat.

Dalam rangka memperkuat koordinasi, Kemenkes/LKPP dan BPOM juga diminta membangun prosedur bersama untuk kegiatan yang melibatkan pekerjaan lintas instansi.

Para pemangku kepentingan sendiri dalam waktu sebulan akan merancang rencana aksi untuk melakukan perbaikan. Upaya itu diharapkan bisa diselesaikan dalam rentang enam bulan berikutnya.

Menanggapi kajian KPK itu, Ketua BPOM Penny Kusumastuti Lukito menyatakan jika pihaknya berkomitmen untuk melakukan perbaikan tata kelola obat. Khususnya yang terkait pada kewenangannya. Misalnya persoalan yang terkait Nomor Izin Edar (NIE) dan pengawasan post-market.

"Kami siap berkoordinasi bersama pihak lainnya untuk melakukan perbaikan," kata Lukito.

Menkes Nila Djuwita F. Moeloek juga mengapresiasi hasil kajian KPK. Pun demikian, diakui Nila, masih ada sejumlah kendala yang berada dalam kendali kementeriannya.

Misalnya, kata Nila, terkait FORNAS dan RKO. Nila mencontohkan wilayah Papua. Dimana Kemenkes mengaku kesulitan dalam mengumpulkan RKO lantaran kondisi geografi yang ekstrem.

"Namun begitu, ini kami anggap sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Akan kami perhatikan betul," ucap Nila.

KEYWORD :

KPK Sektor Kesehatan Obat-obatan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :