Kamis, 02/05/2024 03:16 WIB

Ini Alasan DPR Soal Lamanya Pembahasan RUU Terorisme

Bobby menambahkan selain adanya pasal kontrovesrial, hasil revisi UU tentang Terorisme perlu disinkronisasikan dengan UU lain yang berhubungan dengan masalah penanggulangan teroris

Jakarta - Anggota Panitia Khusus RUU tentang Terorisme DPR fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengakui lamanya waktu yang dibutuhkan pihaknya untuk merampungkan pembahasan revisi UU nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hanya saja, ia berharap masyarakat tidak mempersepsikan kerja legislasi DPR lamban dalam upaya menyelesaikan penyempurnaan UU tersebut.

Bobby menjelaskan pembahasan revisi UU terorisme mengedepankan telaah yang cukup ketat. Sehingga, kata dia, menghabiskan waktu yang relatif lama.

"Jadi ya mungkin publik melihat ini cukup lama," ujar Bobby dalam diksusi dengan tema "Membedah Revisi UU Anti Terorisme" di bilangan Cikini, Jakarta, Sabtu (3/6/2017). 

Bobby menjelaskan terdapat 115 DIM (daftar inventarisasi masalah) dalam pembahasan revisi UU tentang Terorisme. Sejauh ini, kata dia, Pansus RUU tentang Terorisme sudah membahas 70 dari 115 DIM dalam lima kali masa sidang. 

Sisanya, lanjut Bobby, terdapat 50 DIM yang bertendensi menjadi pasal yang sensitif dan cenderung kontroversial. Sehingga dibutuhkan pembahasan yang detail dengan tujuan agar RUU lebih bersifat akomodatif.

"Seperti misalnya pasal yang dikatakan Guantanamo atau adanya keterlibatan TNI (dalam perang melawan teroris). Jadi kita baru masuk ke hal hal tersebut. Ini ekspektasi kita, akan kita selesaikan dalam dua kali masa sidang lagi. Insyaallah Oktober akan kita selesaikan," ucapnya. 

Anggota komisi I DPR tersebut menambahkan selain adanya pasal kontrovesrial, hasil revisi UU tentang Terorisme perlu disinkronisasikan dengan UU lain yang berhubungan dengan masalah penanggulangan teroris. Dimana, kata dia, UU lain tersebut sudah dikeluarkan oleh negara sejak tahun 2003-2016.

"Banyak yang perlu disinkronisasikan seperti UU ini (UU tentang terorisme) khan 2003, tahun 2004 itu muncul UU TNI, tahun 2011 muncul UU tentang intelijen. Terus Perpres pada tahun 2010-2011 tentang BNPT, tahun 2006 UU tentang LPSK, terus juga ada pasal mengenai keterlibatan anak dan mengenai sistem pengadilan terhadap anak," ungkapnya. 

Lebih lanjut Bobby menyampaikan paling utama pada pasal-pasal pemidanaan dalam UU tentang Teorisme, harus mengacu pada KUHP.. 

"Sekarang pertanyaanya sampai 3 hari lalu, KUHP-nya pun belum diputuskan. Apakah pemidanaan mengenai teroris ini kodifikasi tertutup dalam KUHP yang akan dibahas. Apa mengacu pada KUHP lama. Karena perdebatan di komisi III mengenai KUHP pemidanaan tentang teroris, masih fifty-fifty juga. Apakah narkoba, korupsi teroris, apakah mau diatur dalam KUHP yang sedang dibahas sekarang atau sendiri," paparnya.

KEYWORD :

Komisi I Bobby Adhityo Rizaldi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :