Minggu, 19/05/2024 12:57 WIB

Preman Politik

Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia yang berkuasa, apakah pantas ikut cawe-cawe dalam mengeksekusi baik langsung maupun tidak langsung melalui orang terdekat, atau pembantunya terhadap  dua kejadian diatas, dan bagaimana dampaknya terhadap situasi dan kondisi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto Ist)

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud “Preman” adalah “Orang Sipil”, bisa dikatakan bukan yang berprofesi atau mempunyai latar belakang militer (TNI/POLRI).

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengkritisi langkah politik Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang sekarang masih berkuasa.

Yaitu langkah Presiden Joko Widodo yang membiarkan Kaesang untuk menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dimana yang bersangkutan tidak mempunyai track record sebagai anggota atau kader yang dari bawah melalui proses pelatihan, pendidikkan, pengalaman berorganisasi, sehingga layak dan pantas untuk dipilih.

Juga langkah politik Presiden Joko Widodo yang membiarkan anaknya, Gibran, mendampingi Prabowo Subianto yang menurut undang-undang sebelum ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), saudara Gibran tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai calon wakil presiden.

Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia yang berkuasa, apakah pantas ikut cawe-cawe dalam mengeksekusi baik langsung maupun tidak langsung melalui orang terdekat, atau pembantunya terhadap  dua kejadian diatas, dan bagaimana dampaknya terhadap situasi dan kondisi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis yang berlatar belakang sipil dan pernah mengenyam pendidikan di Lemhannas, selama 7 (tujuh) bulan, mengikuti Program Pendidikkan Reguler Angkatan (PPRA), “merasa malu” didepan teman-teman yang mempunyai latar belakang militer, dengan langkah politik Presiden Joko Widodo dalam proses mendudukkan kedua anaknya untuk kepentingan keluarga semata.

Sebab sumber malapetaka dan sumber bencana sebuah bangsa, apabila kepentingan bangsa atau rakyat dan kemanusiaan, berubah menjadi kepentingan golongan, apalagi untuk kepentingan keluarga atau pribadi.

Bagaimana proses politik yang terjadi, mendapatkan penilaian dan tanggapan dari saudara-saudara kita sebangsa yang berlatar belakang militer, dalam hal ini TNI/POLRI?

Kita tahu karier  di lingkungan TNI/POLRI butuh perjuangan, kesabaran, waktu, proses, jenjang pendidikan dan penilain atasan, sehingga seseorang pantas untuk naik jabatan dan menduduki posisi tertentu.

Jangan sampai dimata mereka, sipil yang berkuasa tidak mengharga merit system, dimana  kompetensi, kualifikasi, prestasi kerja, adil dan terbuka diabaikan dan hanya pragmatisme sesaat, bahkan sampai mengkondisikan undang-undang yang melibatkan Mahkamah Konstitusi.

Apakah pantas dan dapat dijadikan contoh atau teladan sebagai seorang Presiden yang seharusnya menjaga dan bersumpah dihadapan seluruh Rakyat Indonesia untuk memegang teguh Undang-Undang Dasar, menjalankan segala Undang-Undang dan Peraturannya secara benar dan konsekuen, seperti sumpah yang pernah dibacakan di depan anggota yang terhormat, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada hari Minggu, tanggal 20 Oktober 2019, yang berbunyi sebagai berikut,

“Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar, dan menjalankan segala Undang-Undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Ada pepatah Jawa yang perlu untuk kita renungkan dan waspadai bersama dalam menyikapi dua kejadian politik diatas, yaitu,

"ngono ya ngono ning ojo ngono”.

Semoga dua peristiwa politik diatas tidak menimbulkan bencana dan malapetaka dalam kehidupan berkonstitusi,  berbangsa dan bernegara. Salam Komando dan Merdeka!

 

Ibnu Prakoso

Ketua Umum KOMANDO Sekaligus Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

KEYWORD :

Preman Politik Ibnu Prakoso Jokowi Politik Dinasti MK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :