Minggu, 28/04/2024 10:34 WIB

Pertumbuhan Pertanian Tergolong Rendah dalam 12 Tahun Terakhir

Meksi begitu, pertanian bukan andalan pengentasan kemiskinan dan pembangunan manusia.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) Professor Bustanul Arifin dan Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Penyuluhan Pertanian Indonesia (Perhiptani), Mulyono Machmur dalam acara bedah buku `Penyuluhan Pertanian Masa Depan`, yang diselenggarakan di Sinartani News Room, Jakarta Selatan, Selasa (30/5).

JAKARTA, Jurnas.com - Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) Professor Bustanul Arifin mengatakan, pertanian Indonesia dalam 12 tahun terakhir tergolong tidak tinggi.

Demikian Bustanul sampaikan pada acara bedah buku "Penyuluhan Pertanian Masa Depan", yang diselenggarakan di Sinartani News Room, Jakarta Selatan, Selasa (30/5).

Dia mengatakan, sektor pertanian 2022 tumbuh 2,25 persen (c-to-c) dan menjadi bantalan resesi ekonomi selama Pandemi Covid-19. Meksi begitu, pertanian bukan andalan pengentasan kemiskinan dan pembangunan manusia.

"Kalau 2,25 ini dan ekonomi makro tumbuh 5,31 persen artinya dia belum andalan untuk pengentasan kemiskinan, apalagi kemiskinan masih 95,7 persen dan sebagian besar di pedesaan," kata Bustanul.

Angka kemiskinan September 2022 turun menjadi 9,57 persen (26,36 juta jiwa). Mayoritas atau sekitar 12,36 persen tinggal di perdesaan, mereka adalah petani, buruh tani, dan pekerja tidak tetap.

Bustanul menjelaskan bahwa pertumbuhan pertanian rendah, khususnya padi disebabkan oleh perubahan teknologi pertanian Indonesia yang tergolong lambat selama tiga dekade terakhir.

"Vietnam dan Thailand pertumbuhannya melompat. Kita pertumbuhannya rendah. Di situlah inovasi lambat ini salah satunya memang karena perubahan teknologi," kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu.

Harga beras Indonesia juga termasuk paling mahal dibandingkan negara-negara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lainnya seperti Vietnam dan Thailand, yang memang produsen beras.

"Ternyata kita sangat tinggi kontensya USD per ton dan kita paling tinggi dibandingkan Filipina, apalagi dibandingkan dengan negara Vietnam dan Thailand yang memang produsen beras," tutur dia.

Menurut dia, harga beras Indonesia mahal karena harga tenaga kerja dan sewa lahan. "Sehingga, kalau berbicara regional agak sulit jika kita tidak meningkatkan efisiensi, padahal kita sudah subsidi pupuk dan benih," katanya.

Dalam bedah buku ini hadir juga Guru Besar Ilmu Penyuluhan dan Pengembangan, Sumardjo dan Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Penyuluhan Pertanian Indonesia (Perhiptani), Mulyono Machmur.

KEYWORD :

Penyuluh Pertanian Bustanul Arifin Pertumbuhan Pertanian




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :