Selasa, 14/05/2024 01:49 WIB

Pembebasan Bersyarat Diobral, KPK Minta Hakim Cabut Hak Koruptor

Diketahui, sejumlah napi korupsi bebas dari penjara pada hari yang sama, Selasa (6/9)

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

Jakarta, Jurnas.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan meminta hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) untuk mencabut hak narapidana terhadap terdakwa korupsi. Hal ini disampaikan lantaran banyaknya narapidana korupsi yang bebas bersyarat.

"Mungkin ke depan kalau misalnya ada terdakwa korupsi yang tidak kooperatif dan lain lain misalnya dalam tuntutan mungkin akan kita tambahkan, kalau itu pejabat publik yaitu tadi mencabut hak dipilih dan mencabut supaya terdakwa tidak mendapatkan haknya selaku terpidana, itu bisa dicabut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Rabu (7/9).

Diketahui, sejumlah napi korupsi bebas dari penjara pada hari yang sama, Selasa (6/9). Beberapa di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Selain itu, terdapat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri.

Mereka menghirup udara bebas setelah mendapat pembebasan bersayarat. Mereka semua wajib mengikuti beberapa kegiatan terkait pembinaan sampai masa hukumannya berakhir.

Alex mengakui pemberian pemebasan bersyarat bukan kewenangan KPK. Hal ini mengingat Mahkamah Agung (MA) telah mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Aturan itu memperketat pemberian remisi bagi terpidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme dan narkoba. Selain itu, dalam UU Pemasyarakatan yang disahkan pada 7 Juli 2022 lalu, narapidana tanpa terkecuali berhak mendapat remisi, cuti, bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat.

Meski demikian, Alex mengingatkan efek jera terancam tidak tercapai jika pembebasan bersyarat diobral kepada narapidana korupsi.

"Dulu kalau tahanan itu perkaranya dari KPK, itu dari rutan minta rekomendasi KPK. Sekarang dibatalkan itu PP itu oleh Mahkamah Agung," ucap Alex.

Untuk itu, Alex mengatakan pihaknya bakal memperberat penuntutan perkara ke depannya. Salah satunya yakni meminta hakim mencabut hak remisi maupun bebas bersyarat. Langkah itu diharap memaksimalkan efek jera dari tindakan rasuah.

"Prinsipnya pembebasan bersyarat, remisi itu hak. Bisa enggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum)," tegas Alex.

Patrialis Akbar diketahui merupakan terpidana kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi. Pengadilan Tipikor Jakarta saat itu menjatuhkan hukuman 8 tahun pidana penjara terhadap Patrialis Akbar pada 4 September 2017. Namun, hukumannya disunat setahun menjadi 7 tahun oleh MA yang peninjauan kembali (PK) yang diajukan Patrialis Akbar pada Agustus 2018.

Sementara itu, Suryadharma Ali divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Suryadharma Ali dinyatakan terbukti korupsi dalam perkara penyelenggaraan ibadah haji hingga merugikan keuangan negara mencapai Rp 27 miliar dan Real Saudi 17 juta dan menyalahgunakan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadi dan keluarga mencapai Rp 1,8 miliar.

Pengadilan Tinggi (PT) DKl Jakarta kemudian menolak banding yang diajukan Suryadharma Ali. Tak hanya itu, PT DKI bahkan memperberat hukuman penjara kepada Suryadharma Ali yang juga mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi 10 tahun penjara.

Upaya Suryadharma Ali untuk bebas dari jerat hukum menemui jalan buntu setelah MA menolak PK yang diajukannya.

Untuk Zumi Zola, Pengadilan Tipikor menghukumnya dengan 6 tahun penjara denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Hak politik Zumi juga dicabut selama 5 tahun, terhitung sejak selesai menjalani pidana pokoknya.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Zumi Zola terbukti telah menerima gratifikasi sekitar Rp44 miliar dan satu unit mobil Alphard. Selain itu, hakim menyatakan Zumi Zola terbukti menyuap 53 anggota DPRD Jambi sebesar Rp 16,34 miliar untuk memuluskan ketok palu Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Raperda APBD) Jambi tahun anggaran 2017-2018.

Sebelumnya, Ratu Atut dan Pinangki Sirna Malasari bebas bersyarat pada hari ini. Pinangki diketahui divonis 10 tahun pidana penjara atas perkara suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat terkait skandal Joko Tjandra. Dalam putusan banding, PT DKI diketahui menyunat hukuman Pinangki dari 10 tahun pidana penjara di tingkat pertama menjadi 4 tahun pidana penjara atau berkurang 6 tahun.

Sementara melalui putusan kasasi, majelis hakim Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan 7 tahun pidana penjara terhadap Ratu Atut Chosiyah. Hukuman itu lebih berat dari vonis di pengadilan tingkat pertama yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.

Ratu Atut Chosiyah terbukti menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar senilai Rp 1 miliar melalui advokat Susi Tur Andayani. Suap itu diberikan untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin dalam sengketa Pilbup Lebak tahun 2013. Selain itu, Atut juga dijatuhi hukuman 5 tahun dan 6 bulan pidana penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.

Jumlah ini belum termasuk para narapidana korupsi yang mendapat remisi. Pada HUT Ke-77 RI tahun ini, sebanyak 44 koruptor yang mendapat remisi.

KEYWORD :

KPK Napi Korupsi Obral Bebas Bersyarat




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :