Senin, 29/04/2024 02:25 WIB

Praktisi Hukum Ingatkan Efek Berantai Berkepanjangan dari Kenaikan BBM

BLT Rp600.000 tak dapat menutup tambahan pengeluaran akibat kenaikan harga.

Hendra Setiawan Boen, praktisi hukum

Jakarta, Jurnas.com - Praktisi Hukum Kepailitan Hendra Setiawan Boen mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan memberi efek berantai yang tidak mudah diurai.

Pengacara dari kantor Frans & Setiawan Law Office itu mengatakan, selain menurunkan daya beli masyarakat, kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 dan rencana pembatasan pembelian BBM oleh pemerintah akan membebani distribusi semua sektor usaha, terutama rantai makanan dan transportasi publik.

Hal ini, jelas Hendra, akan secara otomatis menaikan harga barang-barang tersebut hingga sebesar 30 persen. Akibatnya masyarakat akan semakin mengecangkan ikat pinggang terhadap barang yang dianggap non-esensial, padahal ekonomi Indonesia selama ini ditopang oleh konsumsi masyarakat.

“Karena itu saya melihat BLT pemerintah sebesar Rp600.000 sebagai bantal sosial kepada masyarakat tidak dapat menutup tambahan pengeluaran akibat kenaikan BBM dan barang-barang tersebut, “ ujar Hendra.

Hendra melanjutkan, kenaikan harga barang-barang yang disebut stagflasi tersebut pasti memberatkan masyarakat, padahal kita mulai pulih setelah dihantam covid dua tahun terakhir.

Dampak lain, menurut Hendra adalah para pekerja akan meminta kenaikan upah untuk menyesuaikan dengan biaya hidup. Hal ini akan membebani arus kas perusahaan-perusahaan sehingga berpotensi terjadi PHK besar-besaran.

Perusahaan yang arus kas perusahaan macet juga berpotensi diajukan pailit atau PKPU oleh kreditur bila pembayaran utang mereka tidak lancar.

"Belum lagi dampak keamanan dan ketertiban sosial akibat demo-demo masyarakat yang mulai bermunculan," tegasnya.

Hendra mempertanyakan alasan pemerintah menaikan harga yaitu mengikuti harga pasar, padahal harga minyak dunia sedang turun dan ada SPBU swasta bisa menjual BBM di harga Rp8.900.

“Lucunya malah pemerintah meminta SPBU swasta tersebut menaikan BBM mereka. Bukankah pemerintah seharusnya senang bila masyarakat mengkonsumsi BBM dari SPBU swasta sehingga tidak membebani alokasi subdisi dalam APBN?” ucapnya

Hendra menyebut, adanya SPBU swasta menjual harga BBM non subsidi di bawah harga BBM subsidi pemerintah, membuktikan produksi dan penyaluran BBM di Indonesia selama ini tidak efisien.

"Jadi sebelum pemerintah menaikan BBM, bukankah lebih baik jalur produksi dan distribusi diperbaiki serta mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu?”

“Pemerintah justru banyak mengeluarkan biaya besar untuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti ibukota baru, kereta cepat berbiaya mahal, jalan tol bandara-bandara yang sepi penumpang dan berbagai pemborosan lain. Bukankah selama ekonom global sedangi sulit sebaiknya proyek gagah-gagahan ditunda dan uangnya dipergunakan untuk rakyat sendiri?” himbau Hendra.

Alasan pemerintah membatasi pembelian BBM karena dikonsumsi mobil mewah dan orang kaya juga dipertanyakan Hendra karena melarang mobil 1.400 cc ke atas untuk membeli.

"Pembatasan 1.500 cc sudah benar karena mobil saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok rakyat. Hanya karena orang punya mobil bukan berarti dia orang kaya. Tapi pemerintah malah menurunkan menjadi 1.400 cc,” Kata Hendra

“Akibatnya orang dengan mobil seperti Avanza dkk tidak bisa membeli BBM subsidi, padahal driver Grab dan Gocar rata-rata memakai mobil Avanza. Jadi logika pemerintah untuk membenarkan kebijakan mereka sama sekali tidak logis," tutup Hendra.

KEYWORD :

Praktisi Hukum Hendra Setiawan Boen kenaikan harga BBM




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :