Selasa, 14/05/2024 18:08 WIB

Subsidi Harga Gula Dinilai Tidak Efektif Redam Kenaikan Harga

Gula. (Photo: Freepik/jcomp)

JAKARTA, Jurnas.com - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan subsidi gula petani sebesar Rp 1.000 per kilogram berpotensi tidak efektif untuk meredam kenaikan harga.

"Pemerintah perlu memberikan solusi yang menyasar kepada permasalahan, supaya kualitas gula petani bisa meningkat dan berdaya saing," jelas Peneliti CIPS, Azizah Fauzi dalam keterangannya diterima, Jakarta, Senin (11/7).

Di samping itu, subsidi juga dapat menimbulkan efek ketergantungan. Ke depannya bukan tidak mungkin penghapusan subsidi terhadap harga gula petani akan cukup sulit.

Salah satu keluhan petani adalah kesulitan untuk mengakses pupuk nonsubsidi akibat tingginya harga. Hal ini, lanjutnya, terjadi karena ada kesenjangan harga yang lebar antara pupuk subsidi dan pupuk nonsubsidi.

"Dalam situasi kenaikan harga pupuk mengikuti kenaikan harga komoditas, harga pupuk bersubsidi bisa tetap sama karena dijamin oleh HET. Hal ini menyebabkan kesenjangan harga yang semakin besar dengan pupuk nonsubsidi dan membuatnya semakin tidak kompetitif," tambahnya.

Konflik geopolitik yang sedang terjadi salah satunya berdampak pada kenaikan harga gas, yang merupakan salah satu bahan baku pupuk nonsubsidi, karena harga pupuk bersubsidi sudah diatur untuk tidak melebihi HET.

Jika ada kenaikan biaya bahan baku seperti sekarang yang berdampak pada kenaikan ongkos produksi, akan diselesaikan oleh pemerintah bersama produsen pupuk bersubsidi.

Kenaikan harga pupuk nonsubsidi turut mengurangi pilihan input pertanian yang tepat untuk petani. Walaupun sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dengan luas lahan kurang dari 2 hektare, pupuk nonsubsidi terkadang digunakan sebagai alternatif jika pupuk bersubsidi tidak tersedia atau untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tertentu.

Sementara itu, perkebunan besar seperti sawit dan tebu bergantung pada pupuk nonsubsidi karena mereka tidak berhak mengakses pupuk bersubsidi. Kondisi ini bisa berakibat pengurangan produktivitas atau kenaikan harga pada komoditas-komoditas perkebunan ini.

Peneliti CIPS menemukan kalau program pupuk bersubsidi sendiri perlu dievaluasi efektivitasnya karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, misalnya saja beras.

Dengan porsi anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, reformasi kebijakan pupuk nasional cukup mendesak untuk dilakukan, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.

Untuk itu, lanjut Azizah, alih-alih memberikan subsidi, pemerintah sebaiknya membuka kesempatan seluas-luasnya kepada petani mengakses pupuk nonsubsidi dan pupuk bersubsidi. Dengan demikian diharapkan petani bisa menggunakan pupuk sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dalam konteks gula, revitalisasi pabrik –pabrik gula juga perlu terus dilakukan, salah satunya bisa didorong lewat mekanisme investasi yang berkelanjutan. Pengembangan riset untuk mendukung proses produksi yang efisien juga perlu terus dilakukan.

KEYWORD :

Subsidi Harga Gula Kementerian Perdagangan Pupuk CIPS Azizah Fauzi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :