Jum'at, 26/04/2024 18:47 WIB

Habib Rizieq Pulang, Karyono: Cenderung Reproduksi dan Modifikasi Konflik Lama

Yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional, tapi kompromi politik sebatas kepentingan elit.

Tausiah Habib Rizieq Shihab setelah pulang ke Indonesia

Jakarta, Jurnas.com - Analis Sosial Politik dan Direktur Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menanggapi wacana rekonsiliasi nasional yang dicetuskan sejumlah kalangan pasca-kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke tanah air.

Karyono mengaku sepakat, rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik yang berkepanjangan.

Tetapi fakta yang terjadi, jelas Karyono, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. Padahal rekonsiliasi itu semestinya memiliki urgensi, tujuan, dan kerangka atau konsep rekonsiliasi.

"Dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan, mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu," jelasnya, Rabu (11/11/2020) malam.

Karyono menilai tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi. Pasalnya, rekonsiliasi memerlukan komitmen kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.

"Masalahnya, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik. Konflik lama justru kerap direproduksi, diduplikasi dan dimodifikasi untuk tujuan tertentu," jelasnya.

Ujungnya, tegas Karyono, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi kompromi politik sebatas kepentingan elit.

"Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elit. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," jelasnya.

Lebih jauh ia menjelaskan wacana rekonsiliasi salah kaprah juga pernah didengungkan saat Pilpres 2019 berujung rusuh. Kondisi itu, seketika membuat pasangan Joko Widodo - Ma`ruf Amin sebagai pemenang berkenan merangkul Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya selama dua kali Pilpres berturut-turut.

Upaya merangkul lawan politik itu menggunakan terminologi rekonsiliasi dengan dalih "the winner doesn`t take it all", pemenang tidak mengambil semuanya. Ujungnya, Partai Gerindra masuk ke dalam koalisi pemerintahan dan mendapat jatah dua menteri. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sekadar koalisi.

Berangkat dari fakta empirik ini, Karyono menyebut jika upaya rekonsiliasi hanya sebatas untuk merangkul kubu Habib Rizieq, maka menggunakan istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat.

"Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kompromi politik atau politik akomodatif," tegasnya.

Dengan demikian, lanjut Karyono, jika pemerintahan Jokowi - Ma`ruf bersedia melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu HRS untuk "berdamai" mencari titik temu dengan kubu HRS, maka Presiden Jokowi cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapapun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan.

Pasalnya, kata dia, jika hanya untuk merangkul HRS atau kubu oposisi namanya bukan rekonsiliasi nasional. Karena rekonsiliasi harus dipandang sebagai kebutuhan kolektif bangsa.

Karyono mengingatkan bahwa para elite, khususnya yang menjadi pengelola kekuasaan negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk menyatukan kembali kelompok masyarakat yang mengalami keterbelahan dan pemisahan secara sosial (segregation).

Karyonk menyitir Kohen, (2009) yang menyebut, rekonsiliasi tidak hanya untuk menyatukan masyarakat terbelah. Lebih dari itu, juga diyakini sebagai sarana penting untuk mewujudkan restorasi keadilan (restoration of justice).

Dalam kerangka mewujudkan rekonsiliasi, tegas Karyono, mereka (para elit) berkewajiban tidak hanya menjalankan rekonsiliasi pada level antarindividu dan kelompok yang ada di masyarakat (Moellendorf, 2017: 206). Lebih dari itu, juga diharapkan mampu membangun kembali tatanan institusional baru yang lebih demokratis dan akomodatif yang mampu menyatukan kembali berbagai jenis individu dan kelompok yang ada dalam masyarakat tersebut (Moellendorf, 2017: 210).

Pada bagian akhir, Karyono mejelaskan bahwa pada awalnya istilah rekonsiliasi ini berkembang sebagai kerangka untuk mengakhiri konflik yang terjadi di sejumlah negara, seperti Afrika Selatan dan di negara-negara wilayah Balkan, baik yang mengalami fase transisi demokrasi maupun konflik etnik, agama, dan kelas sosial yang berujung pada disintegrasi maupun perang sipil.

KEYWORD :

Habib Rizieq Shihab Rekonsiliasi Karyono Wibowo Elit




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :