Jum'at, 26/04/2024 16:21 WIB

Pakar Hukum Sarankan KPK Evaluasi OTT

segala ketentuan dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK harus sesuai dengan perintah UU KPK baru

Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman/Unsoed, Prof Dr Hibnu Nugroho

Jakarta, Jurnas.com – Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah yang diduga menerima suap proyek pengadaan barang dan jasa, serta OTT terhadap Komisiomer KPU, Wahyu Setiawan yang diduga menerima uang dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR dari PDI Perjungan dinilai perlu dievaluasi dan dikoreksi kembali.

Hal itu disampaikan Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman/Unsoed, Prof Dr Hibnu Nugroho dalam keteranan tertulis yang diterima Jurnas.com, Senin (13/01) di Jakarta.

Menurut Hibnu, tindakan OTT yang dilakukan KPK berpotensi melanggar upaya paksa. Pasalnya dalam Pasal 69 Huruf D Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, ’Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang Ini.’

“Sehingga segala upaya paksa, baik penyadapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK berdasarkan amanah UU KPK yang baru,” Hibnu.

Dalam kasus OTT Komisioner KPU misalnya, lanjutnya, yang diduga ikut melibatkan elite politik PDIP potensi untuk masuk ke Praperadilan sanga tinggi. “Terbukti ketika penyelidik KPK mendatangi kantor DPP PDIP tidak bisa menunjukkan surat izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK.”

Ia menambahkan, segala ketentuan dalam kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK harus sesuai dengan perintah UU KPK baru. Sehingga perkara OTT terhadap Komisioner KPU mesti dievaluasi.

“Dengan kondisi seperti ini KPK mesti mengevaluasi diri, baik dalam aspek tata kelola manajemen termasuk dalam aspek UU yang baru. Sebab dalam UU KPK yang baru politik hukum dalam hal penanggulangan korupsi ada asas yang megharuskan KPK secara eksplisit menangani perkara korupsi yang besar,” tambahnya.

Selain itu, katanya, jika ada kegiatan penindakan yang dilakukan pimpinan KPK yang baru, maka Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) juga harus dikeluarkan oleh pimpinan KPK yang baru. Maka semua upaya paksa harus atas izin dari Dewan Pengawas KPK.

“Sehingga itulah yang dikhawatirkan publik, jangan-jangan KPK tidak mengantongi izin dari Dewan Pengawas soal penyadapan, penggeledahan dan penyitaan yang berhubungan dengan penanganan perkara,” lanjutnya.

Hibnu juga meminta agar KPK menyerahkan kepada penegak hukum yang lain seperti Polri dan Kejaksaan apabila misalnya melakukan tangkap tangan dengan barang bukti di bawah Rp1 miliar. Sebab UU yang baru KPK diminta aktif berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya dalam penindakan kasus korupsi.

Dalam ilmu pembuktian, penyadapan merupakan alat bukti yang sangat kuat di Pengadilan. Sehingga ketika dua OTT KPK terhadap dua perkara masuk Praperadilan, maka syarat formil dan materiil harus dipenuhi. Syarat formil misalnya izin dari Dewan Pengawas terkait dengan penyadapan dan seterusnya. Ketika KPK tidak bisa menunjukkan izin dari Dewan Pengawas dalam dua OTT yang dilakukan, maka penyadapan yang dilakukan berpotensi ilegal dan tidak sah secara hukum.

KEYWORD :

Lembaga KPK Kasus OTT Pakar Hukum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :