Jum'at, 26/04/2024 16:02 WIB

Petrus: Melarang Unsur Kepolisian dan Kejaksaan di KPK Sangat Naif

Pimpinan KPK mendatang harus mampu mengelaborasi dan mengoptimalkan fungsi KPK di bidang monitor, supervisi, dan pencegahan.

Petrus Selestinus

Jakarta, Jurnas.com - Praktisi hukum dan advokat Peradi Petrus Selestinus mengatakan, institusi KPK tak bisa dilepaskan dari unsur kepolisian dan kejaksaan.

Bagi Petrus, sangat naif jika ada tuntutan dari sejumlah pihak yang menolak keberadaan Polisi dan Jaksa di KPK. Baik ketika ikut dalam seleksi calon pimpinan KPK ataupun menjadi penyidik dan penuntut umum di KPK.

"Tuntutan semacam itu tidak memiliki dasar hukum, karena sesuai dengan amanat UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, salah satu tugas KPK antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, di samping tugas-tugas lain seperti koordinasi, supervisi, monitor, dan pencegahan tindak pidana korupsi,` jelas Petrus, Senin (5/8/2019).

Dalam pasal 12 UU KPK, kata Petrus, dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan sampai meminta batuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

"Itu artinya para pembentuk UU menghendaki pelaksanaan tugas Penindakan di KPK dilakukan oleh tenaga profesional dari unsur Polri," lanjutnya.

Kemudian pasal 21 ayat ( 4) UU KPK juga menyatakan Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum, kemudian pada pasal 26 ayat (4) dan ayat (7) mengatur mengenai Susunan Komisi Pemberanatasan Tindak Pidana Korupsi.

Di sana terdapat bidang penindakan yang membawahi sub bidang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta masing-masing membawahkan beberapa satuan tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya.

"Inilah pekerjaan teknis yang menjadi domain secara "dominus litis" polisi dan jaksa penuntut umum untuk bersinergi tanpa bisa digantikan oleh unsur lainnya," tegas Petrus.

Keberadaan Pimpinan KPK dari unsur polri dan jaksa penuntut umum, sangat jelas diatur juga dalam pasal 38 dan 39 UU KPK. Disitu dikatakan bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut Ulumum pada KPK.

Kecuali ketentuan ketentuan pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan Undang-undang ini. Pengecualian ini karena atasan penyelidik, penyidik dan penuntut umum di KPK adalah pimpinan KPK.

Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.

Khusus dari unsur jaksa penuntut umum di KPK, ketentuan pasal 51 ayat (3) UU KPK dengan tegas menyatakan bahwa penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jaksa penuntut umum yang tentu saja adalah jaksa penuntut umum kejaksaan RI yang tidak boleh digantikan oleh pihak manapun juga karena kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipsahkan.

Para Pembentukan UU KPK telah mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek yuridis, filosofis dan sosiologis dalam pembentukan UU KPK dimaksud. Oleh karena itu maka keberadaan unsur pimpinan KPK dari Kepolisian dan Kejaksaan (jaksa penuntut umum) dan sebagai penyidik dan penuntut umum pada KPK adalah sah, memiliki legitimasi yang kuat dan mengikat secara hukum.

"Karenanya keberadaan unsur polisi dan penuntut umum di KPK tidak dapat dihindarkan, bahkan mutlak keberadaannya. Suka tidak suka itu adalah perintah undang-undang," lanjut Petrus.

Kelemahan pimpinan KPK selama ini, jelas Petrus, adalah karena pimpinan hanya memberi prioritas pada fungsi penindakan. Artinya peran penyidik polisi dan jaksa penuntut umum di KPK sangat menonjol dan boleh dikatakan sukses mengemban misi penindakan, sementara fungsi KPK pada bidang monitor, supervisi dan pencegahan korupsi sangat rendah bahkan nyaris tidak terdengar.

Padahal, lanjut Petrus, fungsi monitor, supervisi dan pencegahan itu sangat penting, tetapi fungsi yang begitu penting itu diabaikan oleh pimpinan KPK selama ini.

"Oleh karena momentum seleksi calon pimpinan KPK kali ini harus melahirkan pimpinan sosok yang bisa mengisi titik lemah di bidang monitor, supervisi dan pencegahan tindak pidana korupsi," jelasnya.

Petrus berharap, pimpinan KPK periode mendatang mampu mengelaborasi dan mengoptimalkan fungsi KPK di bidang monitor, supervisi dan pencegahan. Sebab jika fungsi-fungsi itu dioptimalkan, maka sasaran pencegahan dan pemberantasan korupsi niscaya dapat dicapai.

"Kita masih sulit mendapatkan pimimpinan KPK dengan kriteria memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, bersih diri, memiliki integritas moral dan punya nyali besar, terutama kemampuan menolak atau menyatakan tidak kepada kekuatan manapun yang mencoba mengintervensi Independensi KPK," tuntas Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan advokat Peradi.

KEYWORD :

Petrus Selestinus Kepolisian dan Kejaksaan di KPK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :