Jum'at, 03/05/2024 18:53 WIB

Isi UU Cipta Kerja Dinilai Rugikan Kaum Buruh, KSPI Daftarkan Judical Review ke MK

Presiden KSPI, Said Iqbal menilai bahwa isi dari UU cipta kerja terkait klaster ketenagakerjaan tersebut merugikan kaum buruh.

Aksi Demo Tolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja

Jakarta, Jurnas.com - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak dan mengajukan judical review atau kajian kembali Omnibus Law, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Presiden KSPI, Said Iqbal menilai bahwa isi dari UU cipta kerja terkait klaster ketenagakerjaan tersebut merugikan kaum buruh.

"Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Said Iqbal di Jakarta, Selasa (3/11).

Iqbal mengatakan bahwa, menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat setelah menerima salinan UU No 11 Tahun 2020 khususnya klaster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh.

Beberapa pasal tersebut diantaranya, pertama, berlakunya kembali sistem upah murah.

Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Dimana, frasa `dapat` dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.

Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.

"Bagaimana mungkin sektor industri otomotip seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk, Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," ucapnya

Atas dasar itu, Iqbal meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.

Kedua, PKWT atau Karyawan Kontrak Seumur Hidup.

Dimana, UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003.

Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan. Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap).

Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja. Padahal, dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak.

Dengan demikian, setelah menjalani kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak mempunyai harapan diangkat menjadi karyawan tetap atau permanen apabila mempunyai kinerja yang baik dan perusahaan tetap berjalan.

"Tetapi UU 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut" ungkapnya

Ketiga, Outsourcing Seumur Hidup. Dimana, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja Outsourcing dibatasai 5 jenis pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU ketenagakerjaan.

Pasalnya, UU No 11 Tahun 2020 mengapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003.

Selain itu, juga menghapus batasan 5 (lima) jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.

Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.

Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan perbudakan modern.

Dengan adanya sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya.

Karena dalam praktik, agen outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjanya. Hal ini, karena, agen outsourcing hanya menerima “success fee” per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna (user).

"Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003," kata Iqbal.

Keempat, Nilai pesanghon dikurangi.

UU No 11 tahun 2020 mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah.

"Sebanyak 19 bulan dibayar pengusaha, 6 bulan melalui jaminan kehilangan pekerjaan yang dibayar BPJS ketenagakerjaan," kata Iqbal

Menurut Iqbal, hal ini jelas merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN.

Iqbal pun membandingkan dengan nilai pesangon di Malaysia. Di sana, jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah. Tetapi nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23%.

Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan pensiunnya hanya 8,7%. Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik.

"Oleh karena itu, KSPI meminta nilai pesangon dikembalikan sesuai isi UU 13 tahun 2003," ucapnya.

Kelima, pemberi kerja dengan mudah mem-PHK.

Iqbal menjelaskan hal lainnya yang disoroti buruh dari UU No 11 Tahun 2020. Dimana, PHK menjadi mudah dengan hilangnya frasa “batal demi hukum” terhadap PHK yang belum ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Selain itu, Iqbal mengatakana bahwA Tenaga Kerja Asing (TKA) buruh kasar cenderung akan mudah masuk ke Indonesia karena kewajiban memiliki izin tertulis menteri diubah menjadi kewajiban memiliki recana penggunaan tenaga kerja asing yang sifatnya pengesahan.

KSPI juga menyoroti cuti panjang berpotensi hilang karena menggunakan frasa “dapat”. Kemudian, jam kerja dalam penjelasan UU No 11 Tahun 2020 memberi peluang ketidakjelasan batas waktu kerja, dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing “semumur hidup”.

Dimana, berpotensi menyebabkan buruh tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun, serta beberapa sanksi pidana yang sebelumnya ada menjadi dihilangkan.

Menyikapi hal itu, pagi ini KSPI dan KSPSI AGN secara resmi akan mendaftarkan gugatan judicial review ke MK terhadap uji materiil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” tambanya.

Selain melakukan upaya konstitusional melalui jalur Mahkamah Konstitusi, KSPI juga akan melakukan melanjutkan aksi-aksi dan mogok kerja sesuai dengan hak konstitusional buruh yang diatur dalam undang-undang dan berasifat anti kekerasan (non violence).

“Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislatif review terhadap UU No 11 tahun 2020 dan melakukan kampanye/sosialisasi tentang isi pasal UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi,” tegas Said Iqbal.

 
KEYWORD :




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :