Minggu, 12/05/2024 12:32 WIB

Penangkapan Terduga Teroris Dinilai Bukan Solusi

Upaya represif tersebut bahkan dapat menimbulkan tindakan balas dendam dari teroris lain.

Ilustrasi RUU Terorisme

Jakarta - Peneliti Kajian Strategis Intelijen UI, Ridlwan Habib menilai, upaya penangkapan ataupun tindakan represif penegak hukum masih kurang tepat dalam menangani teroris hingga ke akar rumput. Upaya represif tersebut bahkan dapat menimbulkan tindakan balas dendam dari teroris lain.

"Penangkapan bukan solusi, kalau represif bisa memicu semangat balas dendam," kata Ridwan dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017).

Ridwan lebih lanjut memberikan contoh upaya represif terhadap terduga teroris yang berhasil diamankan. "Kasus di Lampung 2010, Wahono, dia gagal menikah, adiknya menggantikan menikah. (Wahono) dibawa ke Jakarta, diinterogasi, di Lampung, statusnya gagal menikah. Wahono ini viral dan menjadi bahan bakar yang lain untuk menuding polisi, aparat, represif kepada umat Islam," terang Ridlwan.

Ridwan mengakui Undang-Undang tentang terorisme selama ini hanya mengatur penindakan saja. Menurutnya banyak teroris yang telah ditangkap namun serangan demi serangan teror terus menghantui Indonesia.

Lebih lanjut dicontohkan Ridwan mengenai serangan bom Kampung Melayu. Ridwan menyebut aksi yang terjadi baru-baru ini lantaran tergerak dari sebuah ideologi.

"Kampung Melayu ini menjalin kontak juga dengan Aman Abdurrahman di Nusakambangan. Sekelas penjara ideologinya masih ada. Pertanyaannya, apakah pasal itu bisa mematikan apinya?," ungkap dia.

Padahal, kata Ridwan, perlu ada skema melalui UU agar ideologi teroris lenyap. Sebab itu, tegas Ridwan, revisi UU terorisme yang akan digolkan harus bisa mematikan ideologi teroris tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan akan terus menerus melakukan upaya balas dendam lantaran banyak terduga teror yang ditangkapi polisi.

"Saya kira kita harus menemukan apa center of gravity terorisme, apa yang membuatnya masih ada. Kalau tak ditangkal, akan konflik di akar rumput. Nanti (tindakan terorisme) dianggap rekayasa, ini harus dipertanyakan lagi ke DPR," kata Ridwan.

Sementara itu, mantan terpidana terorisme, Sofyan Tsaurin mengungkapkan, kembali terjadinya aksi teror di Indonesia lantaran adanya ketidakadilan. Termasuk ketidakadilan dari pemerintah terhadap masyarakatnya.

Adanya disharmonisasi antara ulama ‎dan pemerintah belakangan ini, dicontohkan Sofyan, juga dapat memicu radikalisasi. Dimana radikalisasi itu berpotensi adanya aksi terorisme.

"‎Sebetulnya muncul (aksi teror) karena berawal ketidakadilan, konflik sosial komunal di masyarakat. Konflik ini akan memicu orang akan berpikir radikal. Jadi seperti itu karena ini memang teroris berangkat dari anti kemapanan, anti sosial dan sebagainya gitu‎," kata Sofyan dalam kesempatan yang sama.

Sofyan juga mengakui dirinya sebelumnya terjebak dalam lubang hitam teroris lantaran ketidakpuasannya terhadap kinerja maupun sikap pemerintahan Indonesia.

"Ya tidak puas dengan kepemimpinan tidak puas, dengan kondisi politik, negara timbul sakit hati kondisi masalah palestina berlarut-larut dan tidak pernah selesai. Dan ini menjadi sebuah pemicu buat kita untuk melakukan sebuah aksi karena adanya sebuah refleksi terkait aksi Amerika dan sekutunya‎," ujar Sofyan.

KEYWORD :

polri terorisme




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :