Senin, 13/05/2024 11:26 WIB

Jokowi dan Politik Dinasti: Perlawanan dan Arogansi Kekuasaan

Jokowi dan Politik Dinasti: Perlawanan dan Arogansi Kekuasaan

Galih F. Qurbany.

Oleh : Galih F. Qurbany

Jakarta, Jurnas.com - Manuver politik Jokowi dalam membangun dinasti politik dan menjadikan Pilpres 2024 sebagai medan pertarungan melawan PDIP telah menciptakan ketegangan yang tinggi di dalam politik Indonesia. Kekuasaan seorang pemimpin seharusnya tidak didasarkan pada nepotisme dan kepentingan keluarga, tetapi pada visi yang jelas untuk adil dan sejahtera masyarakat.

Munculnya pertanyaan, mengapa Jokowi tetap memilih Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto, meski ia mengetahui bahwa langkah ini akan membuka konflik baru dengan PDIP, partai yang telah mendukung dan membesarkan karier politiknya. Bukankah ini suatu bentuk kekhianatan, ketika air susu dibalas dengan air tuba?

Para pemikir politik, seperti Sun Tzu dalam "The Art of War", telah menekankan pentingnya strategi dan taktik dalam memenangkan perang. Dalam konteks politik Jokowi dan PDIP, kita dapat mempelajari hubungan yang menciptakan iklim konfrontasi. Apakah latar belakang dalang di balik keputusan Jokowi untuk mendorong Gibran sebagai cawapres pada koalisi Indonesia Maju, padahal PDIP sendiri memiliki calon presiden dan cawapres, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD?

Salah satu kemungkinan sebagaimana disampaikan politisi PDIP sekaligus aktivis, Adian Napitupulu dalam acara nasiasi di TVone beberapa waktu lalu sebab perbedaan arah strategi yang melahirkan konflik ini adalah karena penolakan oleh PDIP terhadap ide perpanjangan kekuasaan, penundaan pemilu, dan jabatan presiden untuk tiga periode. Ketidaksetujuan ini mungkin memicu Jokowi untuk menggali cara lain memperpanjang kekuasaannya, dengan cara memasang politik dinasti yang melibatkan anaknya dalam proses keberlangsungan kekuasaannya.

Praktik politik dinasti secara alami ( Grow naturally ) memang memiliki dampak yang merusak sistem dan tatanan demokrasi. Dalam teori "The Circulation of Elites" oleh Vilfredo Pareto, teori ini menjelaskan bagaimana elit politik senantiasa berubah dan berganti, namun selalu berasal dari kelompok yang sama, yang berusaha mempertahankan kekuasaan dalam kelompok tersebut. Selain itu, teori "Neo-Patrimonialism" oleh Max Weber juga digunakan untuk memahami praktik politik dinasti, dimana pengaruh personal dan kepentingan keluarga lebih dominan daripada prinsip-prinsip birokratis dan rasional dalam menjalankan pemerintahan.

Contoh politik dinasti dalam sejarah dunia antara lain dinasti Kennedy di Amerika Serikat, dimana John F. Kennedy, Robert F. Kennedy, dan Edward "Ted" Kennedy berasal dari keluarga yang sama dan semuanya berkiprah dalam politik Amerika. Di India, keluarga Nehru-Gandhi juga merupakan contoh politik dinasti yang kuat, dengan Jawaharlal Nehru, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, dan Sonia Gandhi yang berperan penting dalam politik India.

Meski secara etik demokrasi dinasi politik merupakan pelanggaran atas kaidah yang ada , namun praktek politik dinasti yang terjadi dalam sejarah selalu secara alami , dimana ada jarak antara generasi penerus kekuasaan dengan kekuasaan yang tengah berlangsung bahkan adapula generasi pertama pemegang kekuasaan telah wafat sebelum generasi penerusnya mampu merebut kekuasaan.

Namun demikian di Indonesia, politik dinasti yang digaungkan oleh Jokowi mengikutsertakan Gibran Rakabuming Raka, anaknya sendiri, dalam pencalonannya sebagai cawapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam perebutan kekuasaan tidak terjadi secara natural ( Grows not Naturally ).

Sebaliknya, Jokowi menggunakan pengaruh langsung atau tidak langsung pada kekuasaannya untuk memainkan perubahan aturan dan undang-undang yang berlaku, Melalui yudicial reviuw Mahkamah Konstitusi yang dipimpin ketua MK yang nota bene adik iparnya, menjadikan batas usia minimum seorang capres / cawapres 40 tahun dengan menambahkan klausul /prase khusus, “bahwa batas usia minimun capres dan cawapres adalah 40 tahun dan atau pernah /sedang menjabat sebagai kepala daerah. sehingga anaknya Gibran tidak terperangkap oleh aturan yang ada. Tindakan ini merupakan bentuk intervensi dari seorang pemimpin dengan melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya ditegakkan.

Selain itu, studi empiris yang dilakukan oleh Besley, Persson, & Sturm (2011) menemukan bahwa politik dinasti menyebabkan adanya rent-seeking atau persekusi kekayaan oleh para pemegang kekuasaan dan anggota keluarganya, serta meningkatkan peluang terjadinya korupsi dalam pemerintahan. Contoh-contoh politik dinasti di berbagai negara mencerminkan implikasi negatif yang sesuai dengan teori dan hasil penelitian tersebut.

Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dan seluruh pihak yang peduli terhadap demokrasi dan keadilan perlu melawan politik dinasti yang diusung oleh Jokowi dan para pemujanya. Kita harus memastikan bahwa demokrasi, sebagai pilar utama penyelenggaraan negara, tidak dikompromikan demi kepentingan dinasti politik yang mengedepankan ambisi pribadi, kepentingan keluarga, dan mempertahankan status quo kekuasaan.

Perlawanan terhadap politik dinasti dapat dilakukan melalui beberapa strategi, seperti peningkatan literasi politik masyarakat dan pemberdayaan organisasi masyarakat sipil dalam mengedukasi publik tentang bahaya politik dinasti. Selain itu, penguatan lembaga dan undang-undang yang mengatur proses politik dan pemilihan pun perlu diupayakan, guna mengantisipasi dan meminimalisir penetrasi praktik politik dinasti dalam sistem demokrasi yang ada.

Lebih jauh lagi, masyarakat perlu memilih pemimpin yang jelas integritas dan kompetensinya. Pemimpin yang fokus pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan keluarga atau kelompok politik tertentu. Sejatinya, aspirasi politik seharusnya mencerminkan suatu proses meritokrasi, di mana individu dipilih berdasarkan keahlian, integritas, dan dedikasi mereka pada kepentingan rakyat.

Kebangkitan kesadaran masyarakat akan pentingnya demokrasi yang sehat akan menjadi kunci keberhasilan dalam melawan praktik politik dinasti seperti yang dicontohkan oleh Jokowi dan Gibran. Dalam rangka menghadapi ancaman tersebut, perluasan dialog tentang demokrasi dan kokohnya institusi politik, khususnya dalam konteks Indonesia, juga penting untuk menjamin keberlanjutan demokrasi di negeri ini.

Singkatnya, menilik fenomena politik dinasti ala Jokowi membawa kita pada pemahaman pentingnya melawan praktik politik dinasti yang menciderai demokrasi sejati di Indonesia. Hanya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, menguatkan lembaga, dan menegakkan asas-asas demokrasi, kita dapat menghapuskan politik dinasti dan membangun Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis.

Penulis adalah Aktivis 98 dan Ketua Gerakan Biru Kuning Nasional , GBK

KEYWORD :

Politik Dinasti Joko Widodo Gibran Demokrasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :