Minggu, 19/05/2024 18:16 WIB

Hakim Saldi Isra Soal Putusan MK: Aneh Luar Biasa dan Di Luar Nalar

Menurutnya putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar. Dia menilai MK seharusnya menolak permohonan tersebut

Hakim Konstitusi Saldi Isra (Foto: Yotube/Mahkamah Kosntitusi).

Jakarta, Jurnas.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Gugatan tersebut dilayangkan oleh Almas Tsaqibbirru yang putusannya dibacakan pada Senin (16/10) kemarin. Dalam putusannya, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun menjadi capres atau cawapres, asalkan pernah atau sedang menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Hakim Konstitusi Saldi Isra pun menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Dia mengaku heran dan tidak habis pikir dengan situasi tersebut.

"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Menurutnya putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar. Dia menilai MK seharusnya menolak permohonan tersebut, bukan malah berubah pendirian dan sikap.

“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” lanjut Saldi.

Sementara itu, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.

Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

Saldi menguraikan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.


“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” jelas dia.


Saldi mengatakan MK memang pernah berubah pendirian dalam memutus suatu perkara, tetapi tidak pernah terjadi secepat ketika memutus Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi dalam hitungan hari.

Perubahan itu, kata dia, tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, tetapi juga didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah mendapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.

Lebih lanjut dia mengungkap bahwa ketika rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi kecuali Ketua MK Anwar Usman.

“Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” ungkapnya.

Kemudian, dalam RPH berikutnya untuk membahas putusan perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023, RPH dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi.

Beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai opened legal policy, kata Saldi, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Meski model alternatif yang dimohonkan oleh pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023,” ucap Saldi.

Tanda-tanda berubah pandangan beberapa hakim konstitusi itu, menurut Saldi, memicu pembahasan yang lebih detail dan ulet, sehingga pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali.

“Tidak hanya itu, para pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023, sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut,” ucapnya.

Di samping itu, Saldi juga mengungkap bahwa sebagian hakim konstitusi berubah haluan dari semula menyatakan Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 merupakan kebijakan hukum terbuka, menjadi mengambil posisi akhir untuk mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Atas putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Sementara itu, terhadap putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah atas putusan tersebut.

KEYWORD :

Mahkamah Konstitusi Batas Usia Capres Cawapres Saldi Isra




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :