Minggu, 19/05/2024 17:37 WIB

Segara Research Institute: Ekonomi Indonesia akan membaik Jika perdamaian tercapai di Ukraina

Invasi Rusia ke Ukraina berdampak pada ekonomi negara-negara seluruh dunia, termasuk Indonesia

Pemandangan menunjukkan bangunan yang dihancurkan oleh serangan udara Rusia, di tengah serangan Rusia di Ukraina, di Orikhiv, wilayah Zaporizhzhia, Ukraina, 10 Juli 2023. (Foto: Kepala Administrasi Militer Regional Zaporizhzhia Yurii Malashko via Telegram/Handout via REUTERS)

Jakarta, Jurnas.com- Meskipun data pemerintah menyatakan pertumbuhan ekonomi pada 2022 lalu tercatat 5,3 persen, dampak ekonomi akibat perang di Ukraina yang berjarak ribuan kilometer jauhnya, terus dirasakan secara langsung oleh Indonesia. Perang itu telah berdampak pada ekonomi negara-negara seluruh dunia, mengganggu rantai pasokan, menaikkan harga energi dan komoditas pangan, serta mempengaruhi perdagangan dan investasi internasional.

Menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam, perang tersebut telah membawa imbas bagi rumah tangga-rumah tangga di dunia, termasuk Indonesia. Ia merujuk pada terjadinya kenaikan harga pangan dan bahan bakar akibat terganggunya rantai pasokan (supply chain).

“Hal itu sudah terlihat sejak awal-awal perang. Dan perang Rusia-Ukraina juga sudah berlangsung cukup lama”, kata Piter, Senin (24/7/2023).

Hanya perdamaian yang adil dan berkelanjutan, yang dianggap mampu menggerakkan kembali pasar dan mengurangi ketidakpastian ekonomi dunia, termasuk di Indonesia.

Invasi berskala penuh Rusia ke Ukraina memicu kejutan terhadap harga energi global yang tidak terlihat sejak tahun 1970-an. Sebagai pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia memperoleh pangsa pasar baru yang cukup besar di pasar luar negeri, menyusul pemberlakuan sanksi Uni Eropa terhadap ekspor energi Rusia. Namun, perang pun telah membuat harga impor minyak dan gas naik hampir dua kali lipat. Efek lanjutannya adalah, harga BBM bersubsidi di Indonesia telah meningkat lebih dari 30 persen sejak perang dimulai.

Bahan bakar sangat penting dalam kaitannya dengan produksi barang dan jasa, terutama di industri pangan. Sementara, inflasi tahunan untuk makanan di Indonesia mencapai 10,3 persen pada Juli 2022, atau mencatatkan tingkat tertinggi sejak 2014. Naiknya biaya makanan itu jelas mengurangi daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin dan rentan yang menghabiskan sebagian besar anggaran mereka untuk makanan.

Di antara meningkatnya harga “sembilan bahan pokok” (sembako), salah satu yang jelas terkait langsung dengan perang Rusia-Ukraina adalah minyak goreng. Pada April 2022, harga minyak goreng mencapai puncaknya pada Rp 24.400 per kilogram atau naik 64 persen per tahun, sebelum akhirnya turun. Kenaikan itu disebabkan beberapa faktor, antara lain meningkatnya permintaan CPO (minyak sawit) dari negara importir, serta berkurangnya ketersediaan substitusi, seperti minyak goreng dari Rusia dan Ukraina.

Faktor lain yang mempengaruhi harga pangan adalah kenaikan harga pupuk. Terganggunya rantai pasok pupuk global membuat produsen pupuk Indonesia dihadapkan pada kenaikan biaya input yang meningkat hingga lebih dari 14 persen pada akhir 2022 lalu. Hal itu juga membuat Indonesia semakin bergantung pada impor pupuk dari Rusia, yang meningkat sebesar 72 persen, dari Maret hingga Desember 2022, dibandingkan tahun sebelumnya.

Pemerintah Indonesia memberikan subsidi pupuk kepada petani yang berhak. Tetapi peraturan yang dikeluarkan pada Juli 2022 menyebabkan pengurangan jenis pupuk bersubsidi (dari lima menjadi dua) dan jenis komoditas yang berhak mendapat manfaat dari subsidi (dari 70 komoditas menjadi sembilan). Efek lanjutannya, sejak awal invasi Rusia, petani Indonesia membayar empat kali lebih mahal untuk beberapa jenis pupuk. Tentu saja, kemungkinan besar biaya ini akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga pangan yang naik lebih tinggi.

Sebelum invasi Rusia, perdagangan bilateral antara Indonesia dan Ukraina bernilai hampir 1,5 miliar dollar AS. Sejak perang berkecamuk, perdagangan Indonesia-Ukraina anjlok hingga 90 persen. Resolusi damai dari perang ini akan membuka kembali perdagangan, yang dapat menciptakan lapangan kerja baru, membantu menumbuhkan ekonomi Indonesia, dan meningkatkan penghasilan masyarakat. Ada banyak sektor di mana perdagangan bilateral dan kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Ukraina dapat berkembang, tetapi sektor pertanian dan teknologi informasi menawarkan peluang yang paling menarik.

Dikenal sebagai “keranjang roti dunia”, Ukraina adalah pengekspor gandum terbesar kelima di dunia. Indonesia adalah pasar kedua terbesar untuk Ukraina, senilai lebih dari 800 juta dollar AS pada tahun 2021. Impor gandum dari Ukraina membantu Indonesia memenuhi permintaan mie yang sangat besar.

Namun, penghancuran lahan pertanian Ukraina dan pemblokiran pelabuhan Ukraina telah mengganggu ekspor gandum dan memperburuk kerawanan pangan di banyak negara berkembang. “Inisiatif Biji Gandum Laut Hitam” memang sempat memungkinkan beberapa ekspor penting dari pelabuhan Ukraina. Tetapi hanya perdamaian yang dapat mencegah ketidakstabilan yang berkelanjutan.

Indonesia juga membutuhkan Ukraina sebagai negara dengan sumber makanan sehat, seperti kacang-kacangan. Ukraina, di sisi lain pasar potensial untuk ekspor minyak kelapa sawit, kopi, teh dan coklat dari Indonesia.

Menurut Anna Liubyma, Direktur Departemen Kerjasama Internasional Kamar Dagang dan Industri Ukraina, meskipun Angkatan Laut Rusia melakukan blokade dan menyerang infrastruktur listrik, namun ekspor produk dan layanan teknologi dari Ukraina meningkat sebesar 13 persen pada tahun 2022. Selain itu, terdapat lebih dari 4.000 perusahaan teknologi di Ukraina yang dapat membantu mendukung pertumbuhan ekonomi teknologi dan digital Indonesia.

“Pemerintah Ukraina, berkomitmen untuk menjadikan Ukraina salah satu lingkungan yang paling ramah bisnis di dunia”, ujar Anna, yang pernah mengunjungi Indonesia bersama delegasi Ukraina pada Februari lalu.

Kondisi perpajakan yang menguntungkan pun akan memungkinkan meningkatnya ekspor teknologi dari Ukraina di tahun-tahun mendatang. Dengan gambaran tersebut, wajar bila Piter Abdullah yakin bahwa, terciptanya perdamaian antara dua negara bertetangga di Eropa Timur itu akan membawa dampak positif.

“Sudah pasti, akan lebih baik kalau perang selesai dan perdamaian terjadi. Jika perdamaian segera tercipta, Indonesia bisa berharap aliran modal internasional, rantai pasokan, dan sebagainya, bisa kembali membaik. Hal itu pasti akan sangat positif bagi perekonomian negara kita," jelas Pieter.

Bagi sebagian besar orang Indonesia, perang di Ukraina terasa sangat jauh. Namun sebenarnya dampak ekonomi akibat perang itu jauh lebih dekat ke setiap rumah tangga di Indonesia. Penghentian perang secara damai akan mengurangi ketidakpastian ekonomi di Indonesia, yang merupakan salah satu alasan mengapa Pemerintah Indonesia senantiasa perlu menyerukan perdamaian.

Pada Majelis Umum PBB, Februari lalu, Indonesia bersama 141 negara lainnya mendukung penarikan pasukan Rusia dari wilayah Ukraina dengan segera, lengkap dan tanpa syarat. Inilah satu-satunya jalan menuju perdamaian yang abadi.

KEYWORD :

Rusia Ukraina Ekonomi Indonesia Perang




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :