Jum'at, 26/04/2024 16:04 WIB

Fenomena Bali, Antara Rasio Kelahiran yang Rendah dan KB Tradisional Ancit

Dari hasil Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK-21) menunjukkan angka kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) di Bali, menyentuh angka 17,9 persen.

Pelayanan Keluarga Berencana (KB)

JAKARTA, Jurnas.com - Total angka kelahiran atau biasa menggunakan istilah Total Fertility Rate (TFR) di Bali sudah mencapai hasil yang sangat baik yakni rasio 1,98, terendah kedua di Indonesia, di bawah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kendati demikian, dari hasil Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK-21) menunjukkan angka kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) di Bali, menyentuh angka 17,9 persen dan angka ini masih sangat tinggi dibandingkan dengan target nasional 7,94 persen.

"Ini merupakan suatu hal yang janggal, seharusnya TFR rendah akan dibarengi dengan rendahnya angka unmet need. Namun kondisi di Bali, TFR rendah, unmet need tinggi. Ini anomali," ujar Kepala Perwakilan BKKBN Bali dr. Ni Luh Gede Sukardiasih dalam keterangan resmi, Minggu (29/1).

TFR sendiri merupakan jumlah anak rata-rata yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa reproduksinya (antara umur 15-49 tahun). Dengan angka TFR Bali 1,9, ini artinya setiap wanita memiliki 1-2 anak selama masa reproduksinya.

"Untuk menjaga angka tersebut, tentunya diperlukan metode untuk untuk mengatur kelahiran, salah satunya dengan penggunaan alat kontrasepsi," kata Luh De.

Untuk itu, BKKBN Bali terus gencar dan secara terus menerus mempromosikan serta menyosialisasikan untuk ber-KB, terutama kepada pasangan usia subur (PUS) baru, tentang alat kontrasepsi sebagai cara tepat untuk mengatur jarak kelahiran.  "Terutama KB pascapersalinan, sehingga angka unmet need bisa ditekan," jelas Sukardikasih.

Saat ini tersedia berbagai pilihan metode kontrasepsi, baik modern maupun trandisional. Metode KB Modern, seperti IUD, Implant, PIL, Suntik, Vasektomi, Tubektomi.

Risiko Kehamilan

Sementara itu, salah satu jenis KB trandisional yang banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat Bali adalah KB Ancit.

Disinggung terkait istilah KB ‘ancit’, yakni senggama terputus (coitus interuptus), Sukardikasih menjelaskan itu adalah salah satu jenis upaya menghambat kehamilan dengan cara tradisional.

Namun menurut dia, KB `Ancit` itu tidak menjamin terjadinya kehamilan karena masih berpeluang besar pertemuan sel telur dan sperma yang memicu kehamilan.

"Jadi kemungkinan hamil pasti ada, sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Ya, dampak selanjutnya akan bisa saja terjadi aborsi, jika pasangan usia subur belum siap punya anak lagi. Kalau dipertahankan tetap hamil, tentunya perlu kebutuhan finansial yang lebih, termasuk kebutuhan- kebutuhan lainnya yang akan berdampak kepada bayi tersebut. Jadi sebaiknya tetap ber-KB agar bisa menjaga jarak minimal ideal melahirkan," ujar dia.

Terkait korelasi antara ber-KB dengan penurunan stunting, Sukardiasih menjelaskan bahwa hal itu sangat berhubungan erat. Karena dengan ber-KB bisa mengatur jarak kelahiran ideal anak, minimal 3 tahun, sehingga sang ibu bisa mengasuh anaknya dengan baik. Seperti memberikan ASI sampai usia 2 tahun dengan nutrisi yang tepat.

"Jarak ideal ini juga untuk mengoptimalkan tumbuhkembang anak, sehingga tidak menjadi stunting," kata dia.

Dijelaskan, jika tidak ber-KB, maka dikhawatirkan kehamilan berikutnya tidak bisa direncanakan. Apalagiy dengan jarak dekat, maka berpotensi si anak tidak mendapatkan nutrisi dengan baik. Karena, jelas dia, sang ibu sedang hamil.

"Jadi berpotensi keluarga yang mengasuh belum siap. Dari segi sosial ekonomi bisa saja belum siap akhirnya pola asuh anak dan juga ibu hamil tidak optimal. Ini meningkatkan resiko anak stunting," pungkas dia,

KEYWORD :

Total Fertility Rate Bali Percepatan Penurunan Stunting




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :