Kamis, 09/05/2024 19:40 WIB

Anis Matta: Parpol Hasil Pileg 2019 Tak Layak Usung Capres 2024

Persyaratan untuk seorang capres juga tidak perlu dibatasi dengan aturan presidential treshold (PT) 20 persen, harus 0 persen, karena ada putaran kedua yang akan menyeleksinya.

Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Anis Matta.

JAKARTA, Jurnas.com - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, parpol hasil Pemilu 2024 tidak layak mengusung Capres 2024. Capres yang akan mengikuti kontestasi Pilpres 2024 harus didukung `suara segar` perolehan suara parpol hasil Pileg 2024.

"Logika sederhananya adalah kita ke restoran, kemudian kita dihidangkan ikan yang sudah mati 5 tahun yang lalu, diproses lagi sekarang. Kira-kira, apakah mau kita makan atau tidak? Harusnya yang kita makan ikan segar," kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk "Pro Kontra Pileg dan Pilpres 2024 di Waktu Bersamaan, Apa untung dan Ruginya? yang digelar secara daring Rabu (1/6/2022) sore.

Menurut Anis Matta, maknanya adalah seorang capres 2024 sekarang pada dasarnya tidak didukung oleh suara aktual perolehan suara Pileg 2024, tetapi tetap berdasarkan suara usang hasil Pileg 2019 lalu.

Karena itu, kata Anis Matta, Partai Gelora mengusulkan pemisahan Pileg dan Pilpres 2024 tidak digelar dalam waktu bersamaan, dengan mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Supaya Presiden yang akan datang mendapatkan dukungan suara aktual dan legitimasi dari hasil perolehan suara Pileg 2024.

"Sehingga kita menentukan pelaksanaannya dimulai dengan pemilu legislatif terlebih dahulu, baru kemudian pemilihan presiden agar jaraknya tidak terlalu jauh untuk mendapatkan dasar dukungan perolehan suara untuk seorang calon presiden," jelasnya.

Anis Matta menilai persyaratan untuk seorang capres juga tidak perlu dibatasi dengan aturan presidential treshold (PT) 20 persen, harus 0 persen, karena ada putaran kedua yang akan menyeleksinya.

"Tapi andaikata PT 20 persen tetap diberlakukan, dan MK terus menerus menolak gugatan 0 %, maka paling tidak pemilihannya dipisah. Jangan membuat barrier-barrier lagi, pintu masuknya saja susah. Ini pesan penting untuk MK, apakah tuntutan yang terus menerus diajukan dan ditolak itu, harus dipahami MK sebagai semangat untuk memperbaiki sistem,"  tegas Anis Matta.

Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos mengatakan, sebagai penyelenggara Pemilu, KPU akan menindaklanjuti semua ketentuan yang berlaku.

Saat ini, untuk pelaksanaan Pemilu 2024, merujuk pada UU No.7 Tahun 2027 tentang Pemilu, dan untuk Pilkada Serentak berdasarkan UU Tajin 2016 tentang Pilkada.

"Kira-kira dalam waktu sekitar 20 bulan lagi, apakah akan ada revisi UU atau tidak, kita serahkan ke pemerintah dan DPR. KPU sekarang sedang melakukan simulasi dan tahapan untuk Pemilu 2024, yang jadwalnya akan kita mulai 14 Juni 2022," katanya.

Akademi Ilmu Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, keengganan DPR merevisi UU Pemilu, karena parpol besar terjebak pada zona nyaman kekuasaan. Sehinga akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan usai Pemilu 2024.

"Kepentingan politik praktis membuat parpol besar tidak merevisi UU Pemilu. Mereka sengaja mempersempit ruang kompetisi. Tapi ini menjadi dilema dan menggali kuburnya sendiri, jika hasilnya di Pemilu 2024 tidak sesuai yang diharapkan," kata Hurriyah.

Hurriyah berpandangan UU Pemilu No.7 Tahun 2017 tidak hanya menyulitkan parpol baru, tetapi juga parpol lama dan menciptakan tantangan berat bagi semua pihak.

"Kita perlu mempertimbangkan ulang pelaksanaan Pemilu Serentak, karena dampak kerumitan yang bakal ditimbulkan sangat besar. Efektifitas pemerintahan yang dihasilkan juga tidak bisa menjawab problem-problem yang kita dihadapi sekarang. Pemilu 2024 super kompleks, menjadi pemilu yang super eksperimental," katanya. 

Menurut dia, pemisahan Pilpres dan Pileg di Pemilu 2024 akan mendorong terjadinya efektifitas pemerintahan yang dihasilkan, serta akan memperkuat sistem presidensial, baik penguatan legislatif maupun eksekutif. 

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, pelaksanan Pemilu serentak awalnya bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan publik terhadap pelaksanaan Pemilu, Pilpres maupun Pilkada yang bisa digelar setiap tahun dengan anggaran yang sangat besar.

"Kita sebenarnya ingin memberikan pendidikan politik dengan mendorong Pemilu digelar serentak agar kita tidak bertengkar terus. Menghilangkan politik identitas yang mulai ada di Pemilu 2014, berlanjut di Pilkada 2017 dan Pemilu 2019. Ini saja belum selesai, dan akan kita hadapi lagi di Pemilu 2024," kata Ray Rangkuti.

Ray Rangkuti menegaskan, persyaratan PT 20 persen untuk presiden dan PT 4 persen untuk parlemen tidak sesuai yang diharapkan, harusnya aturannya yang ditetapkan 0 persen.

"Putusan MK itu hanya mengatur soal keserentakan saja. Tapi sama partai politik aturan ini dikuci dengan persyaratan parlementary treshold dan presidensial treshold yang tinggi. Jadi ini bukan bagian dari kesuksesan kita di MK," ungkapnya.

Karena itu, Ray Rangkuti mendukung ide Partai Gelora untuk melakukan pemisahan Pilpres dan Pileg pada Pemilu 2024 yang telah mengajukan JR ke MK.

"Kami juga mendorong dilakukan lagi revisi UU Pemilu, karena mengingat waktunya sekarang sudah mepet tidak mungkin melakukan perubahan. Maka revisi UU Pemilu tetap harus dilakukan setelah 2024," tegasnya.

Ketua Bidang Hukum dan HAM DPN Partai Gelora Amin Fahrudin mengatakan, MK telah menggelar dua kali persidangan usulan JR pemisahan Pilpres dan Pileg di Pemilu 2024 pada pertengahan April 2022 lalu, yang diajukan Partai Gelora.

"Sebagai tim kuasa hukum, kami ingin memberikan progres. Kami sudah sudah menjalani dua persidangan, termasuk sidang perbaikan pada pertengahan April lalu. Kita belum mendapatkan undangan untuk sidang berikutnya, kita menunggu saja. Semoga ada arah yang baik, gugatan kami dikabulkan Mahkamah Konstitusi," tandasnya.

KEYWORD :

Partai Gelora Anis Matta Pilpres 2024




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :