Senin, 13/05/2024 10:51 WIB

Tingkatkan Poduktivitas Kedelai, Kementan Diminta Fokus Program Intensifikasi

Memanfaatkan perdagangan internasional untuk memenuhi kesenjangan antara produksi dan konsumsi perlu dilakukan.

Varietas kedelai, devon-1. (Foto: Balitbangtan)

JAKARTA, Jurnas.com - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nisrina Nafisah mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) perlu fokus pada program intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas kedelai.

Nisrina menjelaskan, program intensifikasi, yang tidak membutuhkan lahan tanam tambahan, dapat dilakukan dengan memudahkan akses petani kepada input pertanian, adopsi teknologi pertanian, dan memperbaiki cara tanam yang disesuaikan dengan karakteristik lahan.

"Keterbatasan lahan dapat diatasi dengan program intensifikasi yang fokus pada peningkatan produktivitas, dengan memaksimalkan luas lahan yang tersedia dengan input pertanian dan metode tanam yang efektif," kata Nisrina dalam keterangannya diterima Jurnas.com, Rabu (16/2).

Data USDA mencatat, produksi kedelai di Indonesia dalam rentang waktu 2016-2020 mengalami penurunan dari 565 ribu ton pada 2016, 540 ribu ton pada 2017, 520 ribu ton pada 2018, 480 ribu ton pada 2019, dan 475 ribu ton pada 2020.

Menuru Nisrina, jumlah ini hanya berkontribusi pada sekitar 20 persen kebutuhan nasional. Oleh karena itu, Indonesia masih membutuhkan impor kedelai untuk mengatasi kesenjangan kebutuhan tersebut.

"Memanfaatkan perdagangan internasional untuk memenuhi kesenjangan antara produksi dan konsumsi perlu dilakukan. Tidak hanya untuk konsumen perorangan, banyak industri makanan, seperti penghasil tahu tempe, yang tergantung pada kestabilan ketersediaan kedelai di pasar," jelas Nisrina.

Penelitian CIPS menunjukkan, karakteristik lahan yang cocok untuk ditanami kedelai adalah lahan yang memiliki tanah dengan kadar pH yang netral dan kedalaman 20 sentimeter. Jenis lahan seperti ini tidak tersedia di banyak wilayah Indonesia.

Kedelai adalah tanaman subtropis yang membutuhkan suhu musiman yang beragam, kelembaban tanah yang cukup dan suhu yang cukup tinggi untuk dapat tumbuh secara optimal. Iklim Indonesia yang hanya terdiri dari dua musim membuat pertumbuhan kedelai tidak maksimal.

Hal ini juga akan menyebabkan produksi kedelai Indonesia yang akan juga diprediksikan terus mengalami penurunan sampai tahun 2024 dari 632 ribu ton tahun 2020 menjadi 558 ribu ton tahun 2024. Sementara kebutuhan dalam negeri yang rata-rata mencapai 3,2 juta ton per tahun diperkirakan terus meningkat kedepannya. 

Penelitian CIPS merekomendasikan beberapa hal yang dapat menjadi solusi dalam meningkatkan produktivitas kedelai. Pertama perbaikan produktivitasnya penting dilakukan, terutama karena produktivitasnya hanya mencapai 13,18 kuintal per hektare, dibandingkan dengan 17,4 kuintal per hektarE bila ditanam di lahan sawah.

Selain itu, CIPS merekomendasikan penggunaan bibit unggul, peningkatan akses petani terhadap pupuk, penanganan serangan hama / OPT dan penggunaan alat mesin pertanian atau mekanisasi.

Perbaikan teknik budidaya, perbaikan dan perluasan jaringan irigasi, penggunaan modifikasi cuaca untuk mitigasi perubahan iklim dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian juga direkomendasikan.

"Pemerintah juga perlu fokus mengatasi ketimpangan produktivitas tanaman pangan, termasuk kedelai, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, melalui peningkatan teknik budidaya, seperti penggunaan pupuk dan benih unggul, mekanisasi pertanian, dan juga peningkatan akses dan perbaikan jaringan irigasi di luar Jawa," tambah Nisrina.

Harga kedelai, bahan baku utama tahu dan tempe, naik menjadi Rp 11.240 per kilogram di bulan Februari atau sekitar 24 persen lebih tinggi dari harga kedelai di bulan yang sama di 2021 yang sebesar Rp 8.000 - Rp.9.000. Kenaikan ini berdampak pada ongkos produksi tahu dan tempe dan melampaui daya beli para pengrajin.

KEYWORD :

intensifikasi produksi kedelai




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :