Lonjakan tajam terjadi ketika Myanmar bersiap untuk mengadakan pemilihan nasional pada 8 November, dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi diperkirakan akan kembali berkuasa.
Minggu lalu, seorang anggota staf yang berkerja Suu Kyi di Yangon dinyatakan positif terjangki COVID-19.
Pengumumam maju kembali dipandang sebagai ujian bagi reformasi demokratis sementara negara Asia Tenggara itu.
Militer menangkap, menyiksa, atau membunuh puluhan pria. Setelah membakar hingga 700 rumah di desa Tin Ma di Kyauktaw pada 22 Maret, 10 pria menghilang.
Ye Thein terbunuh dalam serangan militer pada hari Natal, tetapi klaim itu tidak dapat diverifikasi dan juru bicara NLD Myo Nyunt mengatakan kelompok itu memikul tanggung jawab.
Hal itu sekaligus menepis fakta yang beredar selam ini bahwa pemimpin demokratis pertama negara itu dalam beberapa dasawarsa akan menjaga kebebasan berbicara di negara itu.
Kini giliran Pemerintah Kota Paris akan mencabut gelar kehormatan kebebasan yang disematkan Aung San Suu Kyi.
Amnesti International mengumumkan pada Senin (12/11) bahwa mereka mencabut penghargaan hak asasi manusia, yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi sebagai respon atas ketidakpedulian terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya
Kedua jurnalis itu divonis penjara tujuh tahun karena melanggar undang-undang rahasia negara selama meliput pembantaian minoritas Rohing yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Dua wartawan Reuters, Wa Lone (32), dan Kyaw Soe Oo (28), dinyatakan bersalah karena berusa menyelidi pembantaian yang dilakukan oleh pasukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya.