Sabtu, 20/04/2024 06:38 WIB

Bea Cukai Diduga Terlibat Penyelundupan 537 Kontainer Tekstil Ilegal

Sebanyak 537 kontainer bermuatan tekstil masuk ke Indonesia melalui Kota Batam. Ratusan kontainer tersebut diimportasi oleh PT Flemings Indo Batam (FIB) dan PT Peter Gramindo Prima (PGP) yang merupakan perusahaan pemilik 27 kontainer kain premium ilegal.

Ilustrasi Kontainer

Jakarta, Jurnas.com - Sebanyak 537 kontainer bermuatan tekstil masuk ke Indonesia melalui Kota Batam. Ratusan kontainer tersebut diimportasi oleh PT Flemings Indo Batam (FIB) dan PT Peter Gramindo Prima (PGP) yang merupakan perusahaan pemilik 27 kontainer kain premium ilegal.

Salah satu pengusaha pengguna jasa kepabeanan (PPJK) Dewi Ratna membeberkan, proses importasinya hingga penerbitan surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) terhadap ratusan kontainer tekstil itu ditenggarai menyalahi aturan.

Dimana, Dewi berperan dalam pengurusan tekait formalitas kepabeanan dua perusahaan importir tersebut ke Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC).

"Dari awal saya sudah wanti-wanti. Karena apa yang importir lakukan kayaknya sudah ada tindak pidana. Hanya dengan melihat dokumen saja, saya sudah tau permainannya kasar,” kata Dewi beberapa waktu lalu, seperti dikutip bataminfo.co.id

Menurutnya, bos importir atau pemilik barang bernama Irianto. Karirnya sebagai importir dimulai sekitaran tahun 2017, dikembangkan dalam dua layar perusahaannya, yaitu PT FIB dan PT PGP.

“Dia baru mulai main dan sudah impor 537 kontainer yang dalam manifesnya tekstil. Dalam Februari 2020 ini saja sudah ada 94 kontainer 40 kaki,” kata wanita yang sudah berkecimpun dalam dunia export/import barang sejak tahun 1996 itu.

Sebagai pemain lama, Dewi mengaku sempat menegur Irianto. Namun hal tersebut tak digubris. Alhasil, Irianto diamankan aparat sejak Maret 2020 dan saat ini mendekam di balik teralis Markas Besar (Mabes) Polri.

“Nama saya disebut-sebut (DR) sebagai pemilik kontainer atau pemilik barang tidak masalah. Karena faktanya, pemilik barang dalam konteks ini sudah ditahan,” kata Dewi yang juga memiliki sejumlah perusahaan di Batam ini.

Untuk jasa pengurusuan pemenuhan pabean keluar itu ia memasang tarif Rp1.5 juta per kontainer. Dewi mengaku tidak ada mendapat dana lain dari importir untuk pengurusan apapun.

Sederhananya seorang importir saat melakukan kegiatannya harus memenuhi beberapa kewajiban dalam rangka pengeluaran barang dari kawasan pabean. Salah satu hal yang harus ditunaikan mereka kepada DJBC adalah menyertakan dokumen-dokumen impor.

Beberapa dokumen yang dimaksud yaitu mulai dari, Perijinan Umum Kepabeanan, Letter Of Credit (L/C), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Faktur (invoice), serta dokumen pelengkap lainnya. Dalam satu dokumen bisa untuk release pengurusan 10 kontainer.

“Nggak masuk akal (dokumen). Contoh kecilnya begini, hitungan dia perbarang itu harga perkilo, terus harga kilo sama meternya disamakan. Mana boleh, logika aja lah. Saya ketawa aja liat dokumen. Sekarang bermasalah, tak bisa ngelak,” kata dia.

Dewi heran kenapa dokumen bermasalah seperti itu diloloskan oleh DJBC. Bahkan terkesan mulus mendapat surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB).

Namun dia tak mau berbicara banyak soal dugaan permufakatan jahat antara petugas dan importir. Karena sebagai PPJK konteks pihaknya hanya sebagai pemberi tahu dokumen ke DJBC.

“Kalau tak percaya tengok aja dokumennya. Kecepatan dalam pengurusan itu, secara logika kita ajalah. Misalnya satu dokumen itu ada 10 kontainer, terus pemeriksaan fisik cuma makan waktu 1 hari. Coba pikir dulu, bagaimana caranya periksa 10 kontainer (40 kaki) itu dalam waktu satu hari. Patut dipertanyakan,” ungkapnya.

Soal pemerikaaan atau penelitian harusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mengumpulkan data impor meliputi, harga barang, jumlah, kualitas yang dipesan dari luar daerah pabean, surat keterangan asal (SKA), serta tujuan penerima barang.

Dalam kasus impor tekstil yang dilakukan oleh Irianto secara terang-terangan Dewi mengatakan, harusnya Bea Cukai sudah menemukan pelanggaran atau penyimpangan proses dari awal yaitu pada pelacakan alamat tujuan bukan diimpor oleh produsen.

Hal ini mengacu pada Permendag No.64 tahun 2017 tentang ketentuan impor tekstil dan produk tekstil menyatakan jika bahan baku yang diimpor tidak boleh diperdagangkan atau dipindahtangankan.

“Harusnya BC pasti sudah lebih tau. Kan dari orang Intelijen sudah cek ke Jakarta dan pada alamatnya ditemuka tidak ada pabrik. Tapi kok masih bisa jalan? Siapa yang kasih tau informasi ini? Irianto,” bebernya.

“Kalau aku tidak peduli soal apa kesepakatan mereka. Yang aku tahu kalau sudah ada lampu hijau jalan, kalau belum jangan dulu, yang kasih sinyal lampu hijau siapa? Intelijen,” sambungnya.

Setelah kasus 27 kontainer tegahan DJBC Karimun mencuat, Dewi mengaku sudah diperiksa terkait manipulasi dokumen oleh Kejaksaan Agung, Mabes Polri, maupun DJBC. Pemeriksaan dilakukan pasa awal April 2020 lalu, atau tak lama setelah penegak hukum selesai memeriksa Irianto.

Dia diperiksa sebagai saksi, beberapa pertanyaan yang diajukan, mulai dari peran pihaknya, hingga proses pengurusan dokumen oleh PPJK.

Saat pemeriksaan oleh Mabes Polri, kata Dewi, penyidik datang ke kantornya bersama Irianto pada 9 April 2020 lalu. Prosesnya berjalan lancar dan dia dapat menunjukkan semua dokumen yang sesuai dengan aturan.

“Dokumen ada semua aku yang ngurusin semua. Semua hasil pemeriksaan sesuai,” ujarnya.

Dia membeberkan, kalau Mabes Polri maupun Kejaksaan sudah mengetahui terkait importasi 537 kontainer tersebut, dimana dalam berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa barang impor tersebut tertulis ‘negara asal tidak terindentifikasi’.

“Mabes tanya, hasil pemeriksaan kok bisa keluar. Ya saya jawab mana tau, kan BC yang periksa dan bisa keluar karena ada SPPB,” ungkapnya.

“Itu intinya, kok bisa mereka melakukan itu dan tertulis lagi secara administrasi. Kok bisa? Berarti kan ada sesuatu,” sambungnya

Pemeriksaan oleh Kejagung fokus juga pada pertanyaan soal dokumen masuk. Ada dugaan manipulasi dokumen Certificate of Origin (COO) untuk Bebas Bea Masuk. Di Indonesia COO disebut juga dengan SKA atau Surat Keterangan Asal. Sesuai dengan nama dan fungsinya, COO adalah dokumen yang menerangkan negara asal suatu barang yang diimpor maupun diekspor.

“Kita tidak pernah sangkut paut dengan manipulasi itu. COO itu apabila BX minta baru PPJK kasih. Biasanya diminta saat mau mutus SPPB. Jadi mintanya langsung ke importir. Kecuali yang 27 kontainer itu baru kita punya kopiannya,” katanya.

KEYWORD :

Komisi III DPR Kejagung Penyelundupan Tekstil Bea dan Cukai




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :