Kamis, 25/04/2024 11:25 WIB

Indonesia, Negara dengan Beban TBC Tertinggi Ketiga di Dunia

Risiko penularan TBC dapat dikurangi jika semua pasien TBC dapat ditemukan dan diobati sampai sembuh.

Ilustrasi batuk.(Foto: Google)

Jakarta - Selain stunting, Indonesia adalah negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan China. WHO Global TB Report 2018 memperkirakan insiden TBC sebesar 842.000 kasus dengan mortalitas 107.000 kasus.

Menteri Kesehatan Nina F Moeloek mengatakan penularan TBC dapat dikurangi jika semua pasien TBC dapat ditemukan dan diobati sampai sembuh.

"Akan tetapi, dewasa ini, dari 842.000 kasus, baru 53 persen yang ternotifikasi dan diobati, sisanya belum diobati atau sudah diobati namun belum dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan," ujarnya.

Selain underreporting, MDR TB dan TB HIV juga merupakan masalah terkait tuberkulosis yang perlu mendapat perhatian. Estimasi insiden TB HIV sebesar 36.000 kasus, dengan mortalitas 9.400 kasus, sedangkan MDR TB diperkirakan sebanyak 23.000 kasus.

TBC berdampak besar terhadap sosial dan keuangan pasien, keluarga dan masyarakat. Sebagian besar infeksi terjadi pada usia produktif antara 15 dan 54 tahun. Meskipun diagnosis dan pengobatan tuberkulosis gratis, pasien TB menghadapi biaya transportasi, akomodasi, gizi dan kehilangan penghasilan karena ketidakmampuan untuk bekerja.

Beban keuangan yang tinggi dapat menyebabkan pasien tidak mendapatkan diagnosis, tidak memulai pengobatan, bahkan dapat berhenti pengobatan. Kondisi tersebut akan berisiko tinggi menularkan penyakit ke orang lain dan dapat berkembang menjadi Multidrug Resistant TB (MDR-TB).

Beban terbesar dari kerugian TBC diakibatkan kehilangan waktu produktif karena kecacatan dan kematian dini. Beban TBC di Indonesia per tahun sebesar Rp. 24,7 Milyar, sedangkan TB MDR yaitu 5,5 milyar. Dampak kerugian ekonomis akibat penyakit TBC sekitar 130,5 milyar, TB-MDR sebesar 6,2 milyar.

Dalam mencapai Eliminasi TBC tahun 2030, diperlukan strategi akselerasi melalui 6 langkah yaitu: (1) penguatan peran dan kepemimpinan program berbasis kabupaten/ kota, (2) peningkatan akses layanan yang bermutu, (3) pengendalian faktor risiko penularan TBC, (4) peningkatan kemitraan, peningkatan kemandirian masyarakat, (5) penguatan manajemen program dan (6) penguatan sistem dan manajemen TBC melalui berbagai upaya termasuk penelitian dan pengembangan.

Diperlukan dukungan multi sektor, utamanya dalam upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC. Contoh faktor risiko TBC adalah gangguan gizi yang dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Status gizi berpengaruh pada penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi invasi kuman.

Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Oleh karena itu, stunting akan berpengaruh pada kemampuan balita dalam melawan kuman TBC. Balita stunting lebih rentan tertular penyakit TBC dibandingkan dengan balita gizi normal.

Peran multi sektor atau multi aktor sangat penting bagi keberhasilan pencapaian derajat kesehatan masyarakat melalui intervensi gizi serta eliminasi penyakit menular khususnya tuberkulosis (TBC).

"Ini bukan hanya tanggungjawab Kementerian Kesehatan, namun perlu melibatkan semua pihak baik di pusat dan daerah, lembaga sosial kemasyarakatan, akademisi, organisasi profesi, media massa, dunia usaha serta mitra pembangunan melalui penerbitan peraturan perundangan dan pertemuan multisektoral," ungkap Nina.

KEYWORD :

Beban TBC Masalah Kesehatan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :