Sabtu, 18/05/2024 11:53 WIB

Vonis Bebas `Big Bos` Barang Ilegal dan Black Market Penuh Tanda Tanya

harga ponsel yang dibandrol sekitar 30 persen lebih murah daripada harga pasaran

Putra Siregar, dalam sebuah acara talkshow closethedoor Corbuzhier

Jakarta, Jurnas.com — Media sosial kembali marak dengan peredaran handphone murah, laptop murah, TV murah, bahkan kosmetik murah.

Ketua Umum Aliansi Pemerhati Hukum Indonesia (APHI), Ahmad Rifai mengatakan, salah satu bos penguasa peredaran barang-barang murah di bawah harga pasar ini adalah Putra Siregar (PS).

"Sempat diperiksa karena dianggap merugikan negara, akhirnya bos PS bebas dan kembali berbisnis," kata Ahmad Rifai dalam keterangannya secara tertulis, Senin (23/8/2021).

Ahmad Rifai menilai PS seharusnya tidak lolos dari jeratan hukum, karena yang bersangkutan jelas dan terbukti sesuai barang yang dirampas oleh bea cukai, ia menjual ponsel ilegal berbagai merek atau black market.

Seharusnya, tegas Rifai, apa yang diperbuat PS jelas memiliki konsekuensi hukum, yakni telah melanggar UU No.17 /2006 tentang Kepabeanan terutama Pasal 103 huruf (d) sebagaimana juga dimaksud Pasal 102, dengan ancaman paling lama 8 tahun kurungan penjara dan/atau denda paling tinggi Rp5 miliar. Regulasi ini merupakan perubahan dari UU RI No.10/1995.

"Dan kasus ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk memberantas barang ilegal yang kian hari mengkhawatirkan, bukan malah melempem," tandas Rifai. 

PS sendiri, lanjut dia, secara terbuka mengakui perbuatannya dan kooperatif terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh Bea Cukai Kanwil Jakarta, dan juga sudah menyita barang buktinya.

Namun anehnya, tegas Rifai, Bea Cukai tidak mampu membuktikan dipersidangan hingga akhirnya yang bersangkutan terbebas dari jerat hukum.

“Kuat dugaan oknum Bea dan Cukai Kanwil Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah ‘kongkalikong’,” kata Rifai. 

Kenapa hal itu terjadi? Rifai menilai karena dari kurun waktu 2017 hingga 2020 tidak dilakukan proses hukum secara benar oleh aparat berwenang. Dia mensinyalir istilah kooperatif yang disampaikan PS itu hanya lebih kepada urusan ‘setoran’ kepada oknum aparat.

“Itulah alasan kenapa baru 2020 kasus ini muncul ke permukaan,” urainya.

Rifai menuturkan, kasus ini sempat disidangkan di PN Jatim. Pada 10 Agustus 2020, PS didakwa melakukan tindak pidana karena menimbun dan menjual barang impor ilegal dengan bukti 191 ponsel yang disita dari tiga gerai PS Store di beberapa lokasi.

Dari situ, pihak Bea dan Cukai melacak kerugian negara, dengan total Rp26.332.919 (Rp26,33 juta) dari segi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH). Hitungan yang sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dari keuntungan yang PS sudah peroleh.

Dalam persidangan selanjutnya pada Oktober 2020, tuntutan terhadap PS jauh lebih ringan, tidak lagi bicara mengenai kurungan penjara, namun hanya diminta membayarkan denda Rp5 miliar subsider 4 bulan penjara. “Artinya ia terbebas dari dakwaan tindak pidana,” ungkap Rifai.

Ajaibnya, Rifai melanjutkan, pada November 2020, PN Jaktim menyatakan PS tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan.

“Dilihat dari kronologis dan prosesnya, Komisi Yudisial harus turun tangan karena menurut hemat kami mengindikasikan adanya dugaan suap menyuap di antara oknum Bea dan Cukai dan pengadilan, yang membebaskan PS dari jeratan hukum,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Sipil Indonesia (Permasi), Muqoddar menilai kasus barang ilegal yang melibatkan Putra Siregar ini bisa dimenangkan dengan mudah oleh Bea Cukai, karena hitungan secara matematis bea cukai mampu membuktikan secara hukum.

Jika kita mengunjungi salah satu gerai PS Store di Bilangan Condet, Jakarta Timur, kata Muqoddar, akan tampak terasa ganjil lantaran tak pernah sepi pembeli.

"Catatan kami, harga ponsel yang dibandrol sekitar 30 persen lebih murah daripada harga pasaran,” jelasnya.

Bagi Muqoddar, PS praktis merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan pajak yang jika diperkirakan angkanya mencapai Rp2,8 triliun per tahun.

“Apabila peristiwa penyelundupan barang ilegal semacam itu dibiarkan terus menerus, sama saja artinya membajak penerimaan negara,” katanya.

Karena itu, Muqoddar mempertanyakan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap kasus Putra Siregar. Sebab, terindikasi kuat masih terdapat kongkalikong di Kantor Pajak yang membuat Putra Siregar bisa tenang lolos seperti di Bea Cukai.

Menurut dia, bila dilihat dari potensi Pajak yang bisa dipungut dari penghasilan dan transaksi yang dilakukan PS Grup, bukan tidak mungkin DJP mendapatkan pemasukan ke Kas Negara sebesar Rp50 miliar.

“Hampir semua stakeholder yang terkait permasalahan ini ada di bawah Menkeu Sri Mulyani. Maka sudah saatnya aparat yang berwenang melakukan investigasi lebih jauh dan menindak oknum Bea dan Cukai, DJP, serta pengadilan yang terindikasi ikut terlibat dalam aktivitas yang melanggar hukum demi menyelamatkan uang negara,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bebas terhadap bos PS Store, Putra Siregar bin Imran Siregar. Hakim menilai Putra tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

Perbuatan yang dimaksud adalah menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.

KEYWORD :

Ilegal back market Putra Siregar APHI Ahmad Rifai Moqoddar bea dan cukai




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :