Kamis, 25/04/2024 08:53 WIB

BPDPKS akan Libatkan Petani dalam Rantai Pasok Biodiesel Sawit

Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi di tahun-tahun mendatang, yang saat ini dapat ditingkatkan yaitu penggunaan sawit sebagai Energi Baru Terbarukan.

Diskusi sawit. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyampaikan bahwa sampai saat ini sektor perkebunan kelapa sawit terus berkembang kendati berada dalam masa pandemi COVID-19.

Kajian yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Jambi dan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Universitas Wageningen, perkebunan kelapa sawit bisa menjawab isu Sustainable Development Goals (SDGs). Sebab itu pihak, BPDPKS, akan terus berupaya mendorong perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Lantas, dengan dinamika pergerakan harga CPO dan minyak dunia saat direncanakan penyerapan biodiesel pada tahun 2021 mampu sebanyak 9,2 juta kilo liter (KL).

"Diperkirakan kebutuhan dana insentif akan jauh lebih tinggi pada 2021," kata Plt Kadiv Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKSSulthan Muhammad Yusa dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 8, bertajuk Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel, yang diselenggarakan InfoSAWIT, di Jakarta, Kamis (10/6). 

Lebih lanjut kata Yusa, guna menjaga keberlanjutan program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui Mandatori Biodiesel, Pemerintah juga telah menyesuaikan tarif Pungutan Ekspor melalui PMK 191/2020.

Karena itu,untuk kebutuhan Program Mandatori Biodiesel yang terus meningkat setiap tahun, perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel sawit dapat terpenuhi di masa mendatang.

BDPKS memproyeksi produksi CPO dan stok 2021-2025 akan mencapai 52,30 Juta MT-57,61 Juta MT, rerata naik sebesar 4% per tahun. Sementara kebutuhan Biodiesel untuk program B30 tahun 2021-2025 diperkirakan sebesar 8,34 Juta MT 9,66 Juta MT (8.85 Juta KL11.65 Juta KL) rata-rata naik sebesar 5% per tahun.

Dengan konsumsi domesti yang stagnan (minyak goreng dan produk oleokimia), Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi di tahun-tahun mendatang, yang saat ini dapat ditingkatkan yaitu penggunaan sawit sebagai Energi Baru Terbarukan.

Kedepan, tutur Yusa, pihaknya akan mendorong Palm Oil for Renewable Energy: Next Program, yakni melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit.

Selain pengembangan biodiesel dengan teknologi Fatty Acid Methly Ester (FAME) juga sedang dikembangkan biodiesel berbasis hydrogenisasi atau kerap disebut biohidrokarbon, yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline, dan green fuel jet (Avtur).

Pengembangan ini akan melibatkan petani dan akan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tidak besar dan menguntungkan petani kelapa sawit. "Kita perlu mendorong program yang bermanfaat bagi petani yang memang membutuhkan," kata Yusa.

Saat ini pengembangan itu masuk dalam pogram Industrial Vegetable Oil (IVO), dimana pilot project yang dilakukan berada di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Program ini hasil kerjasama dengan Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), PT Kemurgi Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati mencatat, penerapan program mandatori biodiesel dilatarbelakangi Indonesia memiliki potensi produksi minyak sawit mentah (CPO) yang cukup besar yang mana di tahun 2020 produksinya telah mencapai 52 juta ton.

Lantas, upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional, selain itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dari tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta ha sebanyak 40% dimiliiki pekebun sawit (petani sawit).

Besarnya defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor Bahan Bakar Minyak (BBM), serta upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan tercapainya stabilisasi harga CPO.

Lebih lanjut kata Elis Heviati, dalam grand strategi rencana energy nasional, di tahun 2030, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi Bahan Bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon.

Kedepan kata Elis, pemanfaatan biofuel tiak sebatas untuk biodiesel saja, dan tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan, untuk spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Termasuk mendorong emanfaatan by product biodiesel, serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO.

Model kesertaan petani dalam program mandatory biodiesel bisa berupa pengembangan Pabrik Minyak Nabati Industrial (IVO) dan Bensin Sawit dengan bahan baku dari TBS Sawit raykat. Dimana Biaya produksi lebih murah 15-20% dari PKS Konvensional, harga tandan buah segar lebih stabil (Tidak bermasalah dengan Free fattyAcid yang tinggi).

Lantas, kandungan metal dan chlorine rendah, Oil Extraction rate meningkat dari 18-22% menjadi 24- 36%. “Serta dapat dikelola oleh Koperasi/BUMD dan SNI IVO sudah terbit,” kata Elis Heviati.

Diungkpakan Sekretaris Jenderal Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, dalam program madatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyedia biodiesel yang ditetapkan oleh ESDM, untuk menjalankan program B30. Namun, sayangnya tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani.

Untuk itu kata Darto, guna menunjang jalannya program tersebut, dilakukandengan menerapkan pungutan ekspor CPO didasarkan pada peraturan mentri keuangan (191 tahun 2020). Lantas, pungutanini kemudian berdampak pada tergerusnya harga Sawit di tingkat pekebun serta mempengaruhistabilitas bisnis sawit Indonesia khususnya perusahaan kecil dan menengah/BUMN.

"Berasarka hitungankami pungutan ekspor itu bisa menggerus harga TBS Sawit petani sekitar Rp 600/kg,” tutur Darto.

Merujuk riset yang dilakukan oleh SPKS, memperlihatkan perusahaan besar (yang mengontrol hulu danjuga hilir) dalam contoh kasus Wilmar memperoleh bahan baku dari 32 group perusahaan atau sebanyak 32 perusahaan, 4 di antara – nya perusahaan asing (3 Malaysia dan 1 srilangka).

"Ini yang membuat kami petani sangat tersinggung, kenapa program ini justru melibatkan pihak asing,bukannya dengan petani sawit yang memang ada di Indonesia dan menerapkan regulasi yang ditetapkanpemerintah, kenapa kami tidak dilibatkan langsung,” katanya.

Lebih lanjut tutur Darto, pihaknya melakukan tracking di lapangan, faktanya petani sawit swadaya tidak terhubung sama sekali dengan program mamdatori biodiesel, dalam radisu 5 Km saja disekitar wilayah produsen biodiesel petani swadaya tidak diperhatikan atau tidak diajak bermitra.

KEYWORD :

BPDPKS Bahan Baku Biodiesel Petani Sawit Sulthan Muhammad Yusa




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :