Senin, 13/05/2024 11:25 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil: Putusan MK tentang Usia Capres-Cawapres Jadi Basis Nepotisme dan Dinasti

Kami memandang, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024.

Ilustrasi Dinasti Politik. (Radio Idola Semarang)

Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menyoroti kemunduran demokrasi yang terjadi akibat langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo yang maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 mendatang.

Bahkan langkah tersebut mendapatkan kritik dari Handesblatt, media massa asal Jerman. Handesbaltt menilai, pencawapresan Gibran sebagai bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan oleh Time, media dari Amerika Serikat.

“Kami memandang, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024,” kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, Julius Ibrani dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/11).

Dia menegaskan, putusan Mahkamahh Konstitusi (MK) yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran Rakabuming Raka, adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia. Kemunduran tersebut telah banyak diangkat oleh sejumlah pakar dan analis politik baik dari dalam maupun luar negeri terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.

“Secara tegas, putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibranlah yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden sendiri yakni Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres,” terang Julius yang Ketua PBHI ini.

Dia memaparkan, konflik kepentingan yang terjadi akibat Ketua MK (Paman dari Gibran) sekaligus Hakim Konstitusi yang mengabulkan Perkara No. 90 tersebut, bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim tetapi merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang. Hal ini merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia.

“Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang terang benderang terjadi. Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa,” tegasnya.

Hal ini, lanjut Julius, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

“Praktik nepotisme antara Penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada  demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan,” imbuhnya.

Julius melanjutkan, dalam perspektif Pemilu, proses awal yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses pesta demokrasi yang akan dilakukan. Sebab, sedari awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya.

“Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis paska putusan MK. Hal itu karena sejak dini, penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan tangan kekuasaaan bekerja untuk mengintervensi satu  lembaga yudikatif yakni Mahkamah Konstitusi. Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses Pemilu sedari awal sudah cacat secara politik paska putusan MK,” terangnya.

Lebih lanjut, Julius mengatakan, dalam realitasnya, menjelang akan berakhir masa periode jabatan yang kedua, Presiden Joko Widodo semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun “politik dinasti” yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme melalui pencawapresan anaknya, Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024.

“Kami menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan,” tegasnya.

Oleh karena itu, guna merespon hal tersebut dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran.

“Termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut,” tandasnya.

 

KEYWORD :

Pilpres 2024 politik dinasti kemunduran demokrasi Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokrati




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :