Senin, 13/05/2024 07:14 WIB

FFWI XIII Kembali Gelar Diskusi, Film Strategis Melestarikan Bahasa Daerah

Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) kembali menggelar diskusi film terkait dengan penggunaan bahasa daerah.

Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi. (Foto: Jurnas/Ist).

Jakarta, Jurnas.com- Di era perkembangan teknologi yang semakin pesat sekarang ini, bisa mengikis sisi kedaerahan, termasuk dalam soal bahasa.  “Jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang lupa pada akar budaya!” ujar Bayu “Skak” Eko Moektito, youtuber, komedian, sutradara, dan penulis skenario dalam bahasan webinar berjudul “Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia,” yang digelar Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), Selasa, 15 Agustus 2023.

Oleh lantaran itu, Bayu menolak kedaerahan, terutama bahasa daerah, terpinggirkan dan lenyap sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Selain Bayu, webinar kali ini menampilkan narasumber  Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU). Webinar seri kedua FFWI yang  diikuti 57  peserta aktif ini dipandu Supriyanto, wartawan Tabloid Bintang Indonesia.com.

Dari webinar ini terungkap, adat dan budaya beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film, termasuk bahasa daerah. Wacana mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait untuk kepentingan komersial, tetapi juga sebagai hiburan. Hal ini karena ada istilah atau dialek  daerah yang bisa memunculkan tawa penonton.Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam film,  sekaligus  bisa menadi salah satu cara untuk melestarikan  bahasa daerah,  yang  kini kian tereliminasi dalam bahasa pergaulan generasi Z.

Bayu Skak menceritakan pengalamannya ketika harus menawarkan cerita film berbahasa daerah Jawa ke berbagai production house dan ditolak. Bayu yang berasal dari Malang, Jawa Timur, kemudian bertemu produser Starvision Chand Parwez Servia yang tertarik dengan cerita itu. Namun ragu dengan penggunaan Bahasa Jawa. Untuk meyakinkan,  Bayu nekad bertaruh.

“Kalau  film berbahasa Jawa ini tidak bisa meraih penonton sampai 500 ribu, honor saya tidak usah dibayar!” ungkapnya kala itu.

Pada kenyataannya film “Yo Wis Ben” yang digarapnya, berhasil mengumpulkan penonton sampai sekitar 900 ribu. “Bukan cuma saya yang ketagihan, produsernya pun memproduksi film “Yo Wis Ben 2”, ”Yo Wis Ben 3” dan ”Yo Wis Ben Finale,” ungkap Bayu yang memulai karier sebagai Youtuber tersebut.

Pengalaman Susi Ivvaty menemukan film memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Ia mencontohkan beberapa film seperti “Siti“ dan “Turah“ yang  menggunakan bahasa daerah Jawa, lalu ada film “Uang Panai “yang menggunakan bahasa Makasar –Bugis, dan  juga film “Yuni“, yang mengangkat cerita tradisi masyarakat Serang Banten.

Dalam film “Yuni” bahasa yang digunakan Jawa Serang. Jawa yang bercampur dengan bahasa Sunda.  Orang Jawa dan Sunda yang tinggal di pesisir  provinsi Banten, dalam percakapan sehari- hari  terbiasa menggunakan bahasa masing-masing, tetapi uniknya mereka saling mengerti. “Di sinilah  kita lihat bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah itu kuat sekali,” urai Susi.

“Karena feelnya  ada di dalam bahasa itu,” jelasnya. Susi memberi contoh, kalau film “Uang Panai” tidak menggunakan bahasa daerah, pasti terasa hambar dan tidak ada feelnya.” sambungnya mengingatkan penggunaan bahasa daerah  sebuah cara menghindari kepunahan bahasa.

Dalam bidang kebahasaan itu juga Susi merasa kehilangan sosok Remy Silado, seniman yang mahir berbagai bahasa daerah dan bahasa asing. Remy Silado yang wafat tahun lalu,  bagi Susi pribadi yang mengingatkan pentingnya merawat dan menggunakan bahasa daerah

Sementara itu,  Edi Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mewakili Ahmad Mahendra,  Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam  sambutan mengakui kini semakin banyak film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah.

Menurut dia, hal ini antara lain berkat upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggalakkan penggunaan bahasa daerah di berbagai media pandang dengar. Kementerian juga telah mendanai produksi film yang menggunakan bahasa daerah. Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia, tambah Edu,maraknya era digital. Sekarang jauh lebih mudah memproduksi dan mendistribusikan film, dan hal ini menyebabkan pembuatan film menjadi lebih beragam. Termasuk film-film yang menggunakan bahasa daerah.

Edi memberi contoh  yang sudah menggunakan bahasa daerah, antara lain, "Arisan! (The Gathering)" (2003), yang menggunakan bahasa Jawa, “Filosofi Kopi “(Filosofi Kopi) (2015) menggunakan bahasa Sunda, "Tarian Lengger Maut" (2022)   berbahasa Bali.

“Film-film berbahasa daerah ini, hebatnya sukses baik secara kritik maupun komersial, dan membantu meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahasa daerah dalam film-film Indonesia. Karenanya ke depannya mungkin akan lebih banyak lagi film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah,” tandas Edi.

KEYWORD :

Bahasa Daerah FFWI Bayu Susi Ivvaty Yo Wis Ben




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :