Rabu, 15/05/2024 00:05 WIB

Kejagung Diminta Ungkap Dugaan Peran Serta Airlangga di Korupsi Ekspor Minyak

Menurut saya pilihannya kalau dia (Airlangga) memang akan dipanggil lagi segala macam oke lah sekali itu nggak ada masalah, tapi kalau dipanggil lagi menurut saya pilihannya harus mengundurkan diri dulu sementara baik sebagai menteri maupun sebagai ketua partai kalau dipanggil lagi.

Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. (Foto: Parlementaria)

Jakarta, Jurnas.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) berpeluang memanggil kembali Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai saksi untuk memperdalam kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya periode 2021-2022.

Hal itu dilakukan untuk mendalami peran sentral Airlangga menyangkut kebijakan pemberian izin ekspor minyak mentah kelapa sawit yang menjadi sebab terjadinya kelangkaan dan pelambungan harga tinggi minyak goreng di dalam negeri saat itu.

Pakar Hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta Kejagung membongkar secara terang terkait kasus izin ekspor minyak sawit mentah yang menyeret nama Airlangga Hartarto.

Fickar mendukung rencana pemanggilan kembali Airlangga oleh penyidik Kejagung, sebab hal itu untuk melihat lebih jelas kapasitasnya sebagai pejabat berwenang apakah ada peran serta dalam proses pemberian izin atau tidak, itu akan terbuka secara terbuka.

“Menurut saya pilihannya kalau dia (Airlangga) memang akan dipanggil lagi segala macam oke lah sekali itu nggak ada masalah, tapi kalau dipanggil lagi menurut saya pilihannya harus mengundurkan diri dulu sementara baik sebagai menteri maupun sebagai ketua partai kalau dipanggil lagi,” ujar Fickar, dalam keterangan resminya, Selasa (1/8).

Menurut Fickar, ada tanggung jawab moral yang diemban oleh Airlangga, baik sebagai pejabat publik maupun pimpinan partai karena diduga bermasalah dengan kasus hukum. Hal itu seharusnya bisa disikapi secara bijaksana oleh Airlangga agar bisa fokus menghadapi kasusnya.

Sebab, hal itu akan tidak membebani pekerjaannya baik sebagai pejabat publik maupun pimpinan partai. Biasanya, kata Fickar, pemanggilan terhadap saksi dilakukan oleh penyidik hanya sekali, namun jika dilakukan pemanggilan untuk kedua kali dan seterusnya untuk diperiksa tentu ada hal yang serius yang sedang didalami.

“Makanya itu yang dilihat kalau saksi itu biasanya dipanggil cuma sekali kalau saksi itu sudah diperiksa sudah selesai, malah biasanya penegak hukum itu kalau takut tidak bisa didengar lagi waktu memberikan keterangan itu yang pertama itu disumpah supaya keterangannya tidak mengganggu tugasnya dia (menteri), lebih banyak begitu biasanya,” ucapnya.

Bahkan, menurut Fickar, keterangan sekali saja dari seorang pejabat publik kepada penyidik sudah cukup kuat karena sudah disumpah dan tidak perlu lagi menjadi saksi kelak di pengadilan.

“Kalau sepengetahuan saya kalau pejabat publik didengar keterangannya sebagai saksi umpamanya dia disumpah supaya apa supaya dia tidak didengar lagi tidak dipanggil lagi, sudah cukup dengan keterangan yang sudah disumpah itu dia tidak perlu lagi di pengadilan sudah cukup kuat,” paparnya.

Dia menjelaskan, peningkatan status hukum terhadap Airlangga, pastinya Kejagung yang mengetahui apakah memiliki bukti yang kuat untuk menjerat lalu menjadikan tersangka dengan minimal dua alat bukti.

“Kenapa dia memeriksa itu pasti dia punya ada minimal dua alat bukti yang menggambarkan ada satu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Nah apakah seseorang itu Airlangga atau orang lain itu yang kita tidak tahu kejaksaan yang punya informasi,” jelas Fickar.

“Jadi kemungkinannya masih terbuka kalau menurut saya bisa Airlangga diri sendiri bisa juga orang lain tetapi sampai hari ini kan Airlangga masih saksi,” sambungnya.

Lebih lanjut Fickar mengatakan pemanggilan Airlangga selama 12 jam oleh Kejagung dengan pertanyaan 46 pertanyaan sedikit banyaknya mengganggu kinerjanya selaku menteri yang memimpin Kementerian yang cukup strategis.

“Menurut saya sedikit banyaknya itu akan mengganggu pekerjaan dia (Airlangga), karena dia sendiri yang langsung dipanggil, kalau dia umpamanya berkaitan dengan pekerjaan dia bisa didelegasikan kepada orang lain atau kepada bawahannya atau kepada Dirjen nya itu tidak ada masalah sekarang dia sendiri gitu loh,” urainya.

“Artinya urusan pekerjaan bisa dia delegasikan, tapi kalau yang dipanggil dia mau nggak mau bisa dikatakan itu pasti mengganggu pekerjaannya dia sebagai menteri,” imbuhnya.

Selain itu, dikatakan Fickar posisi Airlangga selaku pucuk pimpinan Partai Golkar juga akan memiliki efek negatif atas pemanggilan tersebut dan berpotensi merusak tatanan organisasi partai yang dipimpinnya.

“Sebagai ketua umum Golkar mau nggak mau karena dia ketua umum orang nomor satu pasti terganggu kecuali dia cuma wakil ketua atau ketua 1, ketua 2 atau wakil ketua umum itu tidak ada masalah dengan organisasi,” ungkapnya.

“Tapi kalau dia ketua umum itu mau nggak mau ada pengaruhnya dengan dia dipanggil pengaruh ke pekerjaan dia dan juga partainya juga menurut saya. Kok partai ini dipanggil diperiksa penegak hukum itu pasti ada pengaruhnya,” katanya.

Selain itu, Fickar menanggapi adannya desakan Airlangga mundur dengan menggelar musyawarah nasional luar biasa (munsalub) dari para senior dan kader sebuah indikasi figur atau sosok Airlangga sudah tidak disukai oleh internal partai.

“Ketika ada permintaan seperti itu yaitu pasti sifatnya politis artinya tidak ada kaitannya dengan mengganggu atau tidak mengganggu pekerjaan artinya ketika ada keberatan dia sudah tidak disukai itu saja tafsirnya kalau dalam politik,” urainya.

“Tapi begitu kader politik yang mengajukan dia sebaiknya mundur itu artinya pertanda bahwa dia memang sudah tidak disukai di organisasi itu mestinya sih dia tahu diri kalau sudah begitu,” tuntas Fickar.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan kemungkinan untuk menjerat Petinggi Partai dengan pasal turut serta dalam kasus korupsi terkait fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng.

Hal ini karena pada saat terjadi kelangkaan CPO dan produk turunannya, Petinggi Partai itu memiliki peran di pemerintahan yang memberikan arahan-arahan. Apabila terdapat alat bukti yang cukup kuat, Petinggi Partai itu dapat dijerat dengan pasal penyertaan, yaitu Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

 

KEYWORD :

Kejagung korupsi Ketum Golkar Airlangga Hartarto minyak sawit CPO




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :