Senin, 13/05/2024 01:34 WIB

DPR Sayangkan Kurangnya Sinergitas PLN dan Inalum

Inalum merupakan BUMN yang memproduksi aluminium. Sejak beroperasi tahun 1982, hitungan produksinya tidak lebih dari 250 ribu ton per tahun. Sementara demand atau kebutuhan dalam negeri sebesar 1,5 juta ton per tahun. Akibatnya Untuk memenuhi kebutuhan itu kita harus import. Padahal kita kaya dengan bauksit. Hal ini karena Inalum tidak memilik energi listrik yang cukup untuk proses produksinya.

Anggota Komisi VII DPR RI, Nasril Bahar. (Foto: Parlementaria)

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi VII DPR RI Nasril bahar menyayangkan belum adanya kata sepakat terkait harga aluminium antara PT Inalum dan PLN. Kurangnya sinergitas tersebut menyebabkan produksi alumunium PT Inalum terhambat di tengah kebutuhan aluminium dalam negeri yang cukup besar. 

"Inalum merupakan BUMN yang memproduksi aluminium. Sejak beroperasi tahun 1982, hitungan produksinya tidak lebih dari 250 ribu ton per tahun. Sementara demand atau kebutuhan dalam negeri sebesar 1,5 juta ton per tahun. Akibatnya Untuk memenuhi kebutuhan itu kita harus import. Padahal kita kaya dengan bauksit. Hal ini karena Inalum tidak memilik energi listrik yang cukup untuk proses produksinya," ujar Nasril dalam keterangan resmi dikutip Senin (17/7).

Hal yang sama diutarakannya dalam kunjungan reses Komisi VII DPR RI ke Sumut, belum lama ini.

Dijelaskan Nasril, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang "dimiliki" Inalum seperti PLTA Sigura-gura dan PLTA Tangga, PLTA Asahan I, tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik Inalum untuk mencapai target produksinya. Sehingga Inalum butuh tambahan energi listrik yang tentu saja bisa diperoleh dari PLN.

Sayangnya, sampai hari ini belum ada kata sepakat terkait harga untuk pemenuhan energi listrik dari PLN ke Inalum. Dengan kata lain, ada selisih harga yang sudah lama jadi masalah yang tak kunjung mendapat kesepakatan antara kedua BUMN tersebut. 

"Miris kita melihat, sangat kurangnya sinergitas antara BUMN kita, pemilik energi listrik, PLN yang tidak mampu melakukan kerjasama dengan baik dengan industri aluminium kita. Di tengah tuntutan permintaan pasar yang tinggi atas aluminium. Sehingga membuat Indonesia harus impor aluminium," tambah Politisi Fraksi PAN ini 

Oleh karena itu, Nasril menilai Pemerintah harus turun tangan melakukan konsolidasi ke dua belah pihak. Mengingat kedua perusahaan tersebut adalah sama-sama BUMN. Bahkan, Komisi VII DPR RI juga mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memanggil kedua membelah pihak, agar segera diselesaikan persoalan harga. Sehingga ditemukan titik tengah yang baik. 

Sementara itu Dirut PT Inalum, Danny Praditya kepada Parlementaria mengakui selama ini masalah harga yang belum ada sepakat memang menjadi kendala. Namun saat ini pihaknya bersama PLN sudah melakukan pertemuan, mencari solusi beberapa opsi lain. Diantaranya dengan kemungkinan melakukan kerjasama operasional ataupun joint venture, di mana aset kedua perusahaan akan dijadikan satu dan PLN akan bisa mendapatkan upside ataupun bagian dari kepemilikan hasil produksi Inalum

"Kami menyadari bahwa teman-teman PLN punya keekonomian pembangkitannya dan tentu kebijakannya akan mempengaruhi sektor lainnya oleh karena itu kami mencoba mencari beberapa opsi lain, termasuk Joint Venture atau kerjasama operasional. Insyallah dalam waktu dekat akan ketemu solusi bersama," jelas Danny.

 

KEYWORD :

Warta DPR Komisi VII Inalum PLN alumunium Nasril Bahar




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :