Rabu, 08/05/2024 22:07 WIB

BPDPKS Salurkan Insentif Biodiesel Rp 144,7 Triliun

anggaran untuk insentif biodiesel ini memang terlihat cukup besar dibandingkan program-program yang dijalankan BPDPKS.
 

Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel BPDPKS, Nugroho Adi Wibowo dalam FGD Sawit Berkelanjutan yang bertajuk `Minyak Sawit: Sumber Pangan dan Bio Energi Berkelanjutan` di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, Kamis (13/4).

JAKARTA, Jurnas.com - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah memberikan insentif biodiesel sebesar Rp 144,7 triliun. Angka ini merupakan akumulasi 2015 sampai Maret 2023.

Demikian disampaikan Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel BPDPKSNugroho Adi Wibowo dalam FGD Sawit Berkelanjutan yang bertajuk "Minyak Sawit: Sumber Pangan dan Bio Energi Berkelanjutan" di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, Kamis (13/4).

"Memang kalau kita lihat di pembayaran kami yang sangat tinggi adalah di tahun 2021 di mana kami membayarkan insentif biodiesel sampai mencapi Rp 51 triliun yang kemudian berangsur-angsur di tahun 2022 kami bayarkan Rp 34,5 triliun," kata dia.

Nugroho mengatakan, anggaran untuk insentif biodiesel ini memang terlihat cukup besar dibandingkan program-program yang dijalankan BPDPKS. Akan tetapi, kebijakan dan program ini manfaatnya tidak sedikit. 

"Kalau kita lihat untuk program insentif biodiesel ini ternyata pajak yang kita bayarkan ke negara tidak main-main, bahkan hanya untuk PPN dari insentif biodiesel ini setiap tahun BPDPKS itu memungut dan membayarkan ke kas negara itu Rp 3-4 triliun," kata dia.

Tidak hanya insentif biodiesel, BPDPKS telah melakukan pendanaan terhadap selisih Harga Acuan Keekonomian (HAK) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.

"Sebetulnya ini adalah penyaluran di tahun kemarin. Ada dua jenis yaitu insentif minyak goreng untuk peyaluran minyak goreng kemasan yang hanya satu bulan dan insentif minyak goreng curah," kata dia.

Terkait pembayaran insentif tersebut untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan migor curah sebesar 80 persen dengan jumlah pembayaran Rp 62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha, proses dilakukan tender surveyor.

Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan R.I. yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dan kemasan sederhana.

"Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang," katanya.

Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Dwi Sutoro mengatakan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia bukan dalam hal suplai dan kapasitas produksi, tetapi dalam masalah harga dan distribusi.

"Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan," kata Dwi.

Statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15 persen produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55 persen yang di ekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62 persen dan nonrumah tangga sebanyak 38 persen.

Karena itu, regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.

Pelaksanaan kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industrI CPO.

Sementara harga Olein Internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha migor.

Ini berbanding terbalik dengan harga Olein Domestik yang justru lebih menguntungkan menyebabkan insentif yang berupa izin ekspor tidak lagi menarik, sehingga produsen memilih tidak memproduksi migor bersubsidi. Lantas untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal.

"Sebab itu ke depan sebaiknya Distributor diambil alih oleh perusahaan/ badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus migor bersubsidi," usul Dwi.

Dwi mengatakan, pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara, caranya pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, yang mana PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton/tahun, serta kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton/hari.

KEYWORD :

BPDPKS Insentif Biodiesel Nugroho Adi Wibowo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :