Senin, 29/04/2024 16:51 WIB

Ketua Dewan Pengurus LP3ES: Indonesia Sedang Alami Empat Komplikasi Penyakit

Rizal Ramli menyindir, intelektual Indonesia sekarang tidak bisa lagi diharapkan tumbuh dari dosen-dosen universitas negeri. Menurutnya, Forum Rektor telah berubah jadi “Forum PNS” yang takut sekali bersuara kritis.

Diskusi publik masa depan birokrasi dan pemerintahan yang digelar Universitas Paramadina bersama LP3ES di Jakarta, Rabu (12/4/2023). Foto: dok. jurnas

JAKARTA, Jurnas.com – Indonesia sebagai sebuah negara saat ini dinilai sedang mengalami empat komplikasi penyakit. Komplikasi empat penyakit tersebut tentu saja sangat berdampak kepada birokrasi dan pemerintahan.

“Kondisi dan masa depan birokrasi dan pemerintahan pada saat ini tergantung pada kesehatan negaranya.  Tergantung negara makin sehat atau sebaliknya,” kata Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Abdul Hamid dalam Diskusi Publik Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama LP3ES bertema "Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan (Berkaca pada kontroversi 349T di Kementerian Keuangan RI)" di Jakarta, Rabu (12/3/2023).

Diskusi publik ini menghadirkan ekonom senior Rizal Ramli dan Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, Ph.D.

Abdul Hamid menilai, saat ini nampaknya negara sedang mengalami komplikasi empat macam penyakit, yakni sakit sembelit, sakit syaraf, busung lapar, dan sakit jantung.

Pertama, kondisi negara karena selama 10 tahun ini banyak penyakit, seperti karena ada polarisasi antara Cebong dan Kampret.

Kedua, sakit syaraf. Negara sudah mati rasa terhadap soal keadilan dan tuntutan rakyat atas berbagai aspirasinya, seperti soal tuntutan pembatalan UU Cipta Kerja dan lain sebagainya.

Ketiga, busung lapar, dimana berkah durian runtuh penerimaan negara tidak menjadikan rakyat semakin sejahtera.

“Negara punya duit banyak tetapi rakyat tetap melarat,” kata Abdul Hamid.

“Skandal atau peristiwa kasus Rp349Ttriliun itu menunjukkan negara banyak duit.  Tetapi apakah dana itu mengalir mensejahterakan rakyat bawah. Inilah persoalannya,” imbuh Abdul Hamid.

Keempat, lanjut Abdul Hamid, Indonesia seperti terkena penyakit jantung yang bisa menyerang mendadak negara ini sampai collaps.

Ia berharap, jangan sampai negeri ini masuk pada pada siklus tak berujung, yakni kekerasan yang terjadi terus-menerus serta permusuhan.

“Polarisasi tanpa berhenti karena kita bersama tidak mampu memperbaikinya.  Jika terus terjadi maka tidak bisa lain kecuali  panggilkan ambulans untuk dioperasi,” tegasnya.

Rizal Ramli dalam paparannya menyatakan bahwa saat ini peran kalangan intelektual harus lebih menonjol. Pasalnya, perubahan yang di-drive oleh kalangan intelektual akan sangat berbeda kualitasnya ketimbang perubahan yang di-create oleh para politisi.

“Para pejuang kemerdekaan kita adalah kalangan intelektual. Maka dari itu hasilnya bukan hanya sekadar kemerdekaan tapi juga prinsip-prinsip dasar dari kemerdekaan,” kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli menyindir, intelektual Indonesia sekarang tidak bisa lagi diharapkan tumbuh dari dosen-dosen universitas negeri. Menurutnya, Forum Rektor telah berubah jadi “Forum PNS” yang takut sekali bersuara kritis.

“Yang ada malah Forum Rektor universitas swasta yang mengalami sendiri 20-30 % mahasiswanya tidak mampu membayar uang kuliah, sejak 2,5 tahun terakhir,” kata Rizal Ramli.

“Itulah mereka yang semakin lama semakin menginginkan perubahan,” jelasnya.

Menurut Rizal Ramli, sebenarnya sejak reformasi 1998 bergulir, terutama di era presiden BJ Habibie keadaan sosiopolitik lumayan membaik. Rate US Dolar berhasil diturunkan, kebebasan pers dan demokrasi dijamin. Kala itu, anggota DPR amat kritis dan berani bersuara terhadap eksekutif, karena para ketua partai tidak boleh memecat anggotanya di parlemen kecuali ada kasus Kriminal.

Setelah era itu, lanjut Rizal Ramli, terkini sikap-sikap otoritarian semakin lama makin menggejala dan semakin cepat tumbuh terutama pada periode Presiden Jokowi.

Kini menurutnya, anggota DPR bisa dipecat anytime dengan alasan apapun oleh ketua umum partai. Sehingga sebetulnya di DPR itu tidak perlu 575 anggota DPR, tapi cukup dengan 9 ketua umum partai politik yang diberikan kewenangan apa saja termasuk pemberian proyek-proyek yang bisa memanipulasi pajak, dan lain-lain.

“Jadi dengan mengkooptasi 9 ketua umum partai politik itu, maka demokrasi sudah dilumpuhkan,” ujarnya.

Dalam kaca mata Rizal Ramli, jalan menuju otoritarisme penguasa dimulai dengan pelemahan komponen-komponen demokrasi, yang dimulai sejak dikooptasinya 9 ketua umum partai. Kemudian mulai digunakannya para buzzer dan influencer untuk memuji-muji pemerintahan Jokowi dan menghantam oposisi.

Selanjutnya, terus menerus menggelindingkan isu isu Islamophobia. Orang yang tidak suka dengan Islam politik akan menganggap Jokowi pahlawan. “Jadi meski banyak terjadi ketidakbecusan kinerja ekonomi, namun tetap dipuja-puji oleh kelompok abangan, minoritas dan nasionalis yang sempit dan tidak suka dengan Islam. Itu semua adalah politik pengalihan issue,” jelasnya.

 

Tera Skandal Rp349 Triliun

Skandal Rp349 Triliun di Kemenkeu menurut Rizal Ramli, termasuk skandal keuangan paling besar di dunia. Jumlah itu setara dengan 23 miliar USD. Jumlah yang sangat besar sekali untuk skala dunia.

“Di negara maju ada kasus 10 juta USD saja langsung masuk penjara. Trump saja masuk penjara karena kasus Rp3 – 4 miliar saja karena menyogok selingkuhannya. Dan masih banyak contoh lain. Kasus Rp 349 triliun sudah kategori ‘Tera Skandal’ bukan lagi Mega skandal,” katanya.

Pameran kemewahan juga menjadi sumber terjadinya revolusi sosial di berbagai negara. Di Philipina, rakyat tidak begitu bergejolak karena terbunuhnya Benigno Aquino, tapi Ketika majalah Life memuat gambar-gambar 3.000 pasang sepatu Imelda Marcos, permata dan perhiasan lain, maka seketika kemarahan rakyat Philipina memuncak dan menjatuhkan Ferdinand Marcos dari kekuasannya. Hal itu bisa terjadi di mana saja termasuk Indonesia.

Di dunia juga terjadi setiap rezim korup dan hedon, pasti akan menaikkan pajak. Hari ini, rakyat Indonesia juga sedang marah karena Rafael yang punya uang kontan Rp500 miliar ternyata rumah mewahnya hanya bayar pajak Rp300 ribu saja, pajak yang lain tidak dibayar. “Sistem dan personalia SDM pajak yang bagus sayangnya hanya galak kepada wajib pajak tapi tidak ke dalam sistemnya sendiri, karena ada ‘geng perompak’ di dalamnya yang saling melindungi dan saling membantu,” tutur Rizal Ramli.

Langkah Menkopolhukan Mahfud MD untuk membuka skandal Rp349 triliun adalah Langkah bagus. Tapi Ketika dia membentuk Satgas anti TPPU yang melibatkan Sri Mulyani (SMI) di dalamnya, maka bagi Rizal Ramli itu adalah “The Joke of the Month” atau lelucon paling lucu di bulan ini.

“ Tidak bisa Lembaga yang akan diperiksa tapi pimpinannya ikut dalam tim pemeriksa,” katanya.

 

Keresahan Akademisi

Sementara Wijayanto pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa keresahan akademisi tanah air hari ini telah memunculkan pergerakan tersendiri dari para akademisi. Ada belasan dosen yang protes ke Menteri Pendidikan Nadiem Makarim terkait beban administrasi berlebihan. Juga Gerakan di UNS Solo terkait pemilihan rektor yang memprotes keputusan Nadiem Makarim ihwal pemilihan rektor.

“Juga ada keresahan para akademisi terkait kebebasan akademik di Indonesia yang telah menjadi sorotan sejak lama. Sehingga dosen lebih bisa memerankan dirinya sebagai intelektual publik” kata Wijayanto.

Sedangkan situasi demokrasi terakhir di Indonesia, Wijayanto menegaskan, memang tengah mengalami kemunduran dan bahkan reverse atau pembalikan ke arah otoriterisme.

“Kita amat khawatir bahwa Pemilu 2024 tidak akan menghasilkan apa-apa dan hanya ritual dan prosedur formalitas. Yang terpilih adalah orang-orang dan eliet dan oligarki yang sama. Warga negara hanya menjadi penonton dan subjek penderita,” katanya.

Kalau merujuk pada riset CSIS, ada 54% pemilih yang berasal dari generasi Z dan milenial yang usianya antara 15-31 tahun. Mereka ternyata punya imajinasi dan harapan yang berbeda. Generasi itu 98-99 % sangat aktif di internet. Mereka juga mempunyai karakter yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Para calon pemilih generasi Z itu  mengharapkan sekali pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang jujur dan tidak korupsi. Kriteria pemimpin seperti itu jauh lebih tinggi daripada karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana yang tidak lagi menjadi paling popular.

“Yang terpopuler sekarang adalah jujur dan tidak korupsi. Hal itu menjadi amat penting bagi generasi pemilih yang akan dating,” tuturnya.

“Isu penting lainnya adalah kesejahteraan masyarakat dan lapangan pekerjaan dan pemberantasan korupsi. Hal hal itu yang sangat dipentingkan oleh generasi Z dan kaum milenial sebagai pemilih mayoritas ke depan,” imbuhnya.

Sayangnya, kata Wijayanto, di Indonesia dari pemilu ke pemilu tidak pernah membahas isu yang sangat substantif ini. Isu ketimpangan ekonomi, keadilan sosial, dan kesejahteraan telah dialihkan ke politik identitas.

“Politik identitas yang direkayasa itu dijalankan untuk menyembunyikan persoalan substantif tadi dan hanya obat sesaat bagi ketimpangan yang dirasakan oleh publik secara nyata,” ujar Wijayanto.

Menurutnya, di negara-negara Skandinavia, topik kesejahteraan umum sudah menjadi perjuangan sejak lama di 1970-an, di Jerman, Belgia, Perancis, Swedia, dan berbagai negara sudah menjadi satu isu bersama.

Pertanyaannya, lanjut Wijayanto, bagaimana kesejahteraan publik bisa diwujudkan dan dengan komposisi apa? Terutama dalam pemanfaatan pajak untuk kesejahteraan sosial. Di negara-negara maju komposisi pajak ditujukan untuk pemerataan kesejahteraan dan tidak boleh ada warga yang terlalu miskin sehingga tidak bisa berobat, ke dokter, dan pendidikan.

“Caranya, adalah dengan memberlakukan pajak progresif,” katanya.

Ia mencontohkan, profil pajak individu di Denmark 60%,Finland 67%, Islandia 45%, Norway 31 %, dan lain-lain. Namun di Indonesia hanya 30 %. Di berbagai pemilu di negara maju topik umum adalah soal kesejahteraan sosial dengan pajak progresif.

“Di Indonesia pajaknya sudahlah rendah, namun masih diliputi oleh kekhawatiran umum tentang pajak yang akan dikorupsi dan tidak bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum,” kata Wijayanto.

“Kasus Rafael terkuak ke publik sebagai gambaran dari betapa sulitnya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui pemanfaaatan pajak Negara,” imbuhnya.

KEYWORD :

LP3ES Universitas Paramadina Birokrasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :