Minggu, 28/04/2024 16:43 WIB

Perjuangan Berliku Ardiansyah Lawan Stigma Kusta di Keluarga

Perjuangan Berliku Ardiansyah Lawan Stigma Kusta di Keluarga

OYPMK asal Bulukumba, Ardiansyah (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Stigma masih menjadi momok bagi para pasien kusta. Tidak hanya lingkungan tempat tinggal, stigma juga bisa muncul dari keluarga terdekat. Seperti yang dialami oleh Ardiansyah, salah satu Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Gejala kusta pertama kali dirasakan pria kelahiran 25 Juli 1984 itu pada 2004 silam. Ketika itu, dia menemukan bercak putih di bawah mata kaki yang terasa kebas saat disentuh. Namun, Ardiansyah yang masih awam soal kusta, sempat mengabaikan gejala tersebut.

Bercak putih itu kian membesar dua tahun setelahnya. Bahkan, semakin buruk setelah bagian kulit yang mengalami mati rasa itu berubah menjadi luka, sebab melepuh terkena mesin motor.

"Dua hari kemudian sempat ke puskesmas. Saya dipanggil petugas yang menangani kusta di sana, lalu diperiksa di bagian sendi, lutut, siku, dan katanya masih normal, karena belum ada penebalan syaraf," kata Ardiansyah saat dihubungi Jurnas.com pada Jumat (13/1) lalu.

"Tidak kentara bahwa ini gejala kusta, kecuali luka di bagian mata kaki. Petugas kustanya bilang ini bukan kusta, mungkin cuma pernah keseleo. Saya senang karena tidak dinyatakan kusta, akhirnya cuma dikasih obat biasa, dan untuk menyembuhkan luka saya tadi itu," sambung dia.

Singkat cerita, pada 2009 kondisi Ardiansyah makin mengkhawatirkan. Tangannya sudah mulai kaku dan mati rasa. Akhirnya, tanpa sepengetahuan keluarga, dia berinisiatif memeriksakan diri ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan laboratorium. Satu minggu kemudian, dia dinyatakan positif kusta.

Ardiansyah menjalani pengobatan secara normal. Sejak meminum MDT (multi-drug-therapy) hingga bulan ketiga, kondisi tangannya perlahan membaik. Sedangkan bagian kulit yang mengalami mati rasa, kembali terasa saat disentuh.

Tapi, di akhir pengobatan pada bulan ke-11, Ardiansyah tumbang setelah mengalami reaksi hebat akibat terlalu lelah bekerja. Selama tiga bulan, dia hanya bisa terbaring di tempat tidur, karena kedua tangannya lumpuh dan kakinya sulit digerakkan. Inilah awal mula Ardiansyah mulai memperoleh stigma dari keluarganya sendiri.

"Waktu keluarga sudah tahu, ibu saya langsung kasih respons tidak baik. Pakaian saya dipisahkan. Tempat makan dipisahkan. Dilarang duduk sembarang tempat di dalam rumah," kenang Ardiansyah.

"Saya merasakan sekali stigmanya. Saya mulai terguncang juga, karena mendengar gosip-gosip yang mulai tersebar. Sampai bikin down," lanjut dia.

Ardiansyah semakin terpuruk. Tidak hanya terpaksa berhenti bekerja karena penyakitnya, dia juga ditinggalkan oleh sang istri yang merasa tidak kuat dengan kondisi Ardiansyah.

Pada bulan ketiga pasca reaksi hebat, Ardiansyah membulatkan tekadnya menjalani perawatan intensif di rumah sakit kusta di Makassar selama dua tahun, mulai dari operasi rekonstruksi hingga rehabilitasi untuk mengembalikan tangan dan kakinya yang kaku.

"Waktu itu saya tidak terlalu depresi, saya coba ikhlas. Supaya menanggung sendiri, tidak pernah curhat ke orang lain, tidak pernah menceritakan di media sosial. Saya jalani sendiri," tutur dia.

Sepulang dari rumah sakit, pandangan keluarga terhadap Ardiansyah belum kunjung berubah. Ibunya masih memisahkan berbagai barang yang digunakan oleh Ardiansyah, kendati berkali-kali dijelaskan bahwa kusta tidak menular jika sudah mengonsumsi obat.

Namun, penjelasan itu tak serta-merta diterima. Bahkan, ketika ada acara keluarga, orang tuanya membatasi Ardiansyah untuk berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. Dia juga mulai dibatasi beraktivitas ke luar rumah.

Pada 2015, Ardiansyah memutuskan bekerja di tengah pembatasan yang dilakukan keluarganya. Dengan keterampilannya menggambar, dia bekerja di sebuah perusahaan konsultan. Sayangnya, setahun kemudian kakak laki-laki Ardiansyah melarang dia secara total bekerja di tempat tersebut, dengan alasan penyakit tersebut akan menghalanginya beraktivitas fisik terlalu berat.

"Lagi-lagi saya berhenti bekerja sampai setahun. Tidak ada aktivitas kecuali orderan desain rumah. Itupun jarang sekali. Kadang ada dalam dua atau tiga bulan, kadang juga tidak ada," kata Ardiansyah.

Sampai akhirnya, pada 2017 diam-diam Ardiansyah terjun ke dalam organisasi Permata yang mengurusi soal kusta. Melalui organisasi yang bermitra dengan NLR Indonesia tersebut, Ardiansyah banyak belajar dan melakukan sosialisasi tentang kusta kepada masyarakat. Berkat keaktifannya di organisasi inilah, keluarga Ardiansyah akhirnya mulai melunak.

"Mereka menerima saya apa adanya. Yang mereka takutkan saya mengalami penolakan, diskriminasi, itu yang mereka khawatirkan. Maunya mereka itu, saya harus menyembunyikan bahwa saya kena kusta," ujar dia.

Setelah melalui perjuangan berat ini, Ardiansyah berpesan kepada pasien kusta untuk fokus menjalani pengobatan. Menurut dia, keyakinan sembuh bisa menjadi benteng untuk melawan stigma yang datang dari luar, serta mencegah terjadinya depresi.

Dia juga tak henti-henti mengingatkan masyarakat bahwa kusta bukan penyakit aib. Saat ini, kusta sudah bisa diobati, dan obatnya dapat diakses secara gratis di puskesmas terdekat.

"Sudah jelas obatnya tersedia secara gratis, tidak mengeluarkan biaya. Semacam penyakit influenza lah. Oleh karena itu, kita harus percaya dengan diri sendiri," tutup dia.

Dilansir dari laman NLR Indonesia, kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Kendati menular, kusta hanya akan menular jika terjadi kontak langsung dan berulang-ulang dalam waktu lama. Dan kusta tidak akan menular jika OYPMK sudah menjalani pengobatan.

"Kusta tidak dapat menular jika seseorang hanya bersentuhan sekali atau dua kali dengan pasien kusta," demikian bunyi keterangan tersebut.

Adapun pengobatan MDT (multi-drug-therapy) disediakan oleh pemerintah secara gratis dan tersedia di seluruh puskesmas, dengan durasi pengobatan enam hingga 12 bulan. OYPMK yang telah meminum dosis pertama MDT tidak lagi memiliki daya tular.

Diketahui, NLR Indonesia merupakan organisasi nirlaba di bidang penanggulangan kusta dan konsekuensinya, termasuk mendorong pemenuhan hak anak dan kaum muda penyandang disabilitas akibat kusta dan disabilitas lainnya. Saat ini NLR Indonesia telah melakukan kemitraan strategis dengan berbagai pihak di 12 provinsi.

KEYWORD :

Kusta OYPMK Ardiansyah Stigma




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :