Jum'at, 19/04/2024 19:38 WIB

Tiga Ekonom AS Diganjar Nobel Berkat Teliti SD Inpres

Adalah Abhijit Banerjee (58), Esther Duflo (46), dan Michael Kremer (54) melahirkan pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan, dalam rangka memerangi kemiskinan yang melanda dunia, khususnya negara-negara dunia ketiga.

Tiga ekonom AS yang meraih nobel (Foto: Google)

Jakarta, Jurnas.com – Tiga pakar ekonomi Amerika Serikat (AS) mendapatkan Penghargaan Ekonomi Nobel atau Nobel Economics Prize dari Royal Swedish Academy of Sciences pada Senin (14/10) lalu. Penghargaan bergensi itu diberikan karena ketiganya dinilai berhasil membantu mengatasi masalah kemiskinan.

Adalah Abhijit Banerjee (58), Esther Duflo (46), dan Michael Kremer (54) melahirkan pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan, dalam rangka memerangi kemiskinan yang melanda dunia, khususnya negara-negara dunia ketiga.

"Para penerima penghargaan tahun ini telah memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk memperoleh jawaban yang handal tentang cara terbaik untuk menangani kemiskinan global," kata para juri dikutip dari AFP pada Rabu (16/10).

Duflo menjadi perempuan penerima Nobel Economics Prize kedua dalam 50 tahun penghargaan ini digelar. Sebelumnya perempuan pertama penerima penghargaan ini ialah Elinor Ostrom pada 2009.

Duflo dan suaminya Abhijit merupakan profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Sementara Kremer adalah seorang profesor dari Harvard University.

"Ketiganya menemukan cara-cara yang lebih efisien dalam memerangi kemiskinan dengan mengubah isu-isu yang dipandang sulit menjadi pertanyaan yang lebih kecil dan lebih terkontrol, yang kemudian dapat dijawab melalui percobaan lapangan," ujar para juri Nobel.

Berbeda dari kebanyakan peneliti yang melihat masalah kemiskinan secara luas, ketiga ekonom ini fokus pada pendekatan atas isu-isu yang lebih spesifik seperti edukasi pada masyarakat miskin. Salah satunya ialah cara meningkatkan kinerja sekolah di daerah-daerah miskin, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dari ketiga pemenang tersebut, catatan khusus dimiliki oleh Duflo. Perempuan 46 tahun ini merupakan tokoh perempuan termuda yang memenangkan Nobel selama 50 tahun terakhir.

Menariknya, tanpa diketahui, ternyata Duflo selama ini meneliti soal SD inpres yang ada di Indonesia.  Duflo mengungkap peran SD inpres yang digagas oleh Presiden Soeharto dalam mengatasi kemiskinan.

SD Inpres terbentuk berdasarkan instruksi presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. SD Inpres ini sering disebut sebagai "sekolah kampung atau sekolah kecil", karena disediakan untuk anak-anak masyarakat miskin di daerah terpencil.

Kendati ada di wilayah perkotaan, SD Inpres berada di kawasan dengan penghasilan rendah, sementara di wilayah lebih maju pemerintah membuat SD negeri (SDN)

Penelitian ini kemudian diterbitkan pada Agustus 2000 dengan judul `Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from An Unusual Policy Experiment`, atau `Konsekuensi Sekolah dan Pasar tenaga Kerja dari Pembangunan Sekolah di Indonesia: Bukti dari Eksperimen Kebijakan yang Tidak Biasa`.

Dalam abstraksinya, dia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita atau kondisi lapangan yang terjadi di Indonesia selama 1973 hingga 1978. Tercatat pada saat itu Indonesia membangun sekitar 61.000 SD Inpres.

Duflo kemudian mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Dengan menggabungkan perbedaan antar daerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antar kelompok yang disebabkan oleh waktu program.

Dalam risetnya, Duflo menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan perubahan signifikan khususnya dalam meningkatkan pendidikan dan pendapatan.

Anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.

Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah, ia mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses `meningkatkan` ekonomi. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8-10,6 persen.

Seperti diketahui, sejak tahun 70-an, tercatat Presiden Soeharto mulai gencar memberlakukan program Wajib Belajar (Wajar) selama enam tahun di seluruh nusantara.

Sedangkan untuk sarana dan prasarananya, ialah dengan menjalankan program SD Inpres yang merupakan kependekan dari Sekolah Dasar Instruksi Presiden, yang hingga 1994 telah berhasil berdiri sekitar 150.000 unit SD di berbagai pelosok Nusantara.

Berkat semua kerja kerasnya meningkatkan mutu pendidikan, pada 19 Juni 1993 Soeharto dianugerahi penghargaan Avicienna dari UNESCO. Penghargaan yang tak banyak diterima oleh pemimpin-pemimpin dunia saat itu.

Sementara itu, dengan memenangkan hadiah nobel maka ketiga ekonom itu akan mendapatkan uang senilai total sembilan juta kronor Swedia atau setara US$914.000 (Rp12,7 miliar, kurs Rp 14.000).

Ketiganya juga akan menerima penghargaan dari Raja Carl XVI Gustaf pada upacara formal di Stockholm pada 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel yang meninggal pada tahun 1896.

KEYWORD :

SD Inpres Ekonom AS Penghargaan Nobel




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :