Sabtu, 20/04/2024 03:48 WIB

Depresiasi Rupiah Dinilai Tidak Menakutkan

Terjadinya defisit pada neraca transaksi berjalan, bukanlah hal baru dan tidak perlu menciptakan ketakutan yang luar biasa besar. 

Depresiasi rupiah dinilai tidak menakutkan (Foto: FMB)

Jakarta - Sejumlah indikator ekonomi menunjukkan bahwa penurunan rupiah yang kini terjadi bukanlah hal yang perlu ditakutkan. Lantaran itu pulalah, masyarakat diingatkan untuk tidak berpikir negatif, demi menghindari akibat negatif yang tidak diinginkan. 

Demikian disampaikan Kepala Departemen Internasional Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema "Bersatu untuk Rupiah", di Jakarta, Senin (10/9).

“Kita memang harus siap menghadapi penurunan rupiah ini, mau tidak mau. Tapi ini bukan merupakan hal yang baru. Tidak perlu ditakutkan.  Kalau waspada iya. Hanya, ketakutan  yang berlebihan itu tidak bagus. Saya banyak melakukan riset, bahwa kalau kita berpikiran negatif itu bisa mengakibatkan hal negatif," ucapnya.

Contohnya, terjadinya krisis perbankan, walau sebenarnya banknya sehat. Cuma kalau nasabah berbondong-bondong tidak percaya, bisa bangkrutlah itu bank. Itulah sebabnya. jangan memberi informasi yang bisa membuat kita semua panik.

Iskandar pun kemudian mengajak publik melihat melihat kembali krisis pada 1997-1998 sampai periode saat ini.

"Secara historis, ini bukan pertama neraca transaksi berjalan kita mengalami defisit. Pada 2013, curent account mengalami defisit minus 4,24% persen di triliwulan keduanya. Hal Itu mengakibatkan neraca primer kita mengalami defisit besar,” tegas dia.

Jadi, lanjut Iskandar Simorangkir, masalah terjadinya defisit pada neraca transaksi berjalan kita, bukanlah hal baru dan tidak perlu menciptakan ketakutan yang luar biasa besar.

Dibanding tahun 2013 yang angka defisitnya mencapai minus 4,24 persen, defisit neraca berjalan tahun ini yang mencapai minus 3,04 persen bukanlah merupakan sebuah krisis.

“Karena ada arus modal masuk atau capital inflow, kondisi itu menjadi tidak masalah,” tuturnya. 

Menurut Simorangkir saat ini yang harus diwaspadai adalah iklim global yang penuh ketidak kepastian. Situasi ini dikhawatirkan bisa memicu capital outflow terjadi.

“Fenomena ketidakpastian ini memang fenomena global. Di Argentina yang kondisi ketidakpastian global telah memicu terjadinya krisis menjadi lebih berat. Dari awal Januari sampai Jumat, mata uang Argentina terdepresiasi 49,62 persen.kalau turki 40,7 persen depresiasinya. Coba bandingkan dengan kita, depresiasi hanya mines 8,5 persen,” tegas dia.

Simorangkir menambahkan, kehawatian berlebihan tidak diperlukan karena funfamental ekonomi di dalam negeri masih sangat kuat. Hal ini diperlihatjan dengan tingkat inflasi yang masih rendah yakni 3,2 persen.

Selain mewaspadai inflasi, pemerintah juga akan memperhatikan kondisi neraca perdagangan. Hal ini terkait sejumlah kebijakan pemerintah AS yang mencerak lebih dari 8 miliar dolar pada 2008.Yang mana, itu diikuti kebijakan penaikan tariff yang berdampak pada menurunnya perdagangan dunia.

“Akibat volume perdagangan dunia menurun ekspor kita melambat. Apalagi CPO,” katanya.

Untuk mendorong kepercayaan masyarakat pada rupiah, Iskandar mengatakan, pemerintah menerbitkan tkebijakan kenaikan tarif pph impor. Pemerintah juga akan terus mendorong penggunanan komponen lokal untuk proyek-proyek infrastruktur untuk mengurangi beban impor.

“Sejumlah kebijakan untuk mendorong ekspor juga telah diterbitkan, antara lain dengan sistem OSS dan pos border,” tegas dia.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga mendorong penguatan pariwisata. Pada 18 Agustus lalu, sambung dia, pemerintah sudah memutuskan memberikan KUR pariwisata kepada UMKM tarifnya 7 persen.

“Saya yakin dengan bersama-sama dengan masyarakat, dengan pemberitaan yang seimbang, saya yakin masyarakat percaya ekonomi solid sehingga nilai tukar kita menjadi seimbang,” katanya. 

KEYWORD :

Rupiah Defisit Krisis




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :