Sundari | Jum'at, 23/06/2017 06:07 WIB
Ketum Golkar, Setya Novanto
Jakarta - Jaksa penyidik Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) mengungkapkan, pertemuan Ketua Umum Partai Golkar yang sekaligus Ketua DPR, Setya Novanto dengan tersangka kasus mega korupsi E-KTP di Hotel Gran Melia Jakarta untuk memberikan dukungan pembahasan anggaran proyek itu, adalah permulaan untuk mewujudkan delik.
"Karena pada dasarnya setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut menyadari bahwa pertemuan itu bertentangan dengan hukum serta norma kepatutan dan kepantasan," papar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Yunarwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada Kamis, 22 Juni 2017.
Delik yang dimaksud adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang atau tindak pidana. "Terlebih lagi pertemuan tersebut dilakukan di luar jam kerja yakni pukul 06.00 WIB serta adanya upaya yang dilakukan oleh Setya Novanto untuk menghilangkan fakta yakni dengan cara memerintahkan Diah Anggraini agar menyampaikan pesan kepada terdakwa I jika ditanya oleh penyidik KPK agar menjawab tidak mengenal Setya Novanto," tegas jaksa.
Pada sidang itu, Jaksa mengungkap peranan
Setya Novanto untuk melancarkan proyek E-KTP agar mendapat dukungan dari DPR. Pada pertemuan itu, Jaksa menyebutkan orang-orang yang hadir. Mereka adalah
Irman (terdakwa 1), Sugiharto (terdakwa II), juga dihadiri Andi Agustinus dan Sekjen Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraini. Mereka itulah, yang menemui
Setya Novanto di Hotel Gran Melia.
Dalam surat tuntutan yang dibacakan jaksa itu, pertemuan Gran Melia atas andil Andi Agustinus alias Andi Narogong menawarkan kepada terdakwa
Irman dan terdakwa Sugiharto. "Kalau berkenan Pak
Irman nanti bersama Pak Giarto akan saya pertemukan dengan
Setya Novanto," ujar Andi Narogong.
Terdakwa I atau
Irman bertanya buat apa?". Dan langsung dijawab Andi Narogong, "Masak nggak tahu Pak
Irman? Ini kunci anggaran ini bukan di Ketua Komisi II, kuncinya di
Setya Novanto," ujarnya. Terdakwa
Irman hanya menjawab singkat, "O..begitu," tutur Jaksa.
Dari dialog di atas itulah, akhirnya ditindaklanjuti dan kemudian berlangsunglah pertemuan Gran Melia itu. Setelah itu, ada pertemuan lagi antara terdakwa
Irman dan Andi Agustinus di ruang kerja
Setya Novanto di Lantai 12 Gedung DPR.
"Terdakwa I dan Andi Agustinus meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek penerapan KTP elektronik. Atas pertanyaan tersebut,
Setya Novanto mengatakan, "Ini sedang kita koordinasikan, perkembangannya nanti hubungi Andi (Narogong)," beber dialog Setnov oleh Jaksa.
Sehingga atas bantuan
Setya Novanto, konsorsium PNRI yang terdiri atas Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra dapat memenangi proyek KTP-e dengan nilai kontrak Rp5,841 triliun. Sampai 2 Agustus 2012, Sugiharto telah melakukan pembayaran tahap 1-3 pada tahun 2011 serta pembayaran tahap 1-2012 yang seluruhnya berjumlah Rp1,979 triliun.
Nah, uang itulah akhirnya memicu perselihan. Jaksa mengungkapkan, berdasarkan keterangan Andi Agustinus dan Anang S Sudihardja kepada Sugiharto, sebagian uang yang diterima tersebut diberikan kepada
Setya Novanto dan anggota DPR lainnya.Tak hanya itu, terdakwa juga tidak bersedia memberikan uang lagi.
Dibeberkan Jakwa Wawan, pertemuan membahas perselihan berlangsung di Senayan Trade Center untuk mencari solusi. Tak ada kesepakatan. "Andi Agustinus marah. Kalau begini saya malu dengan SN (
Setya Novanto), ke mana muka saya dibuang, kalau hanya sampai di sini sudah berhenti," ujar bacaan Jaksa KPK.
Begitulah peranan Setnov. KPK mendakwa mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri
Irman dituntut 7 tahun dan pidana denda sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Juga kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider 2 tahun penjara.
Dan untuk terdakwa mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dituntut 5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.
Keduanya dinilai terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp2,3 triliun.
KEYWORD :
Korupsi e-KTP Irman Setya Novanto