Senin, 09/06/2025 15:56 WIB

Penyakit Manusia Membunuh Simpanse, Kini Ilmuwan Temukan Cara Mencegahnya

Studi terbaru yang diterbitkan di Biological Conservation menunjukkan langkah-langkah sederhana seperti memakai masker, menjaga jarak, dan karantina efektif melindungi simpanse dari penyakit manusia.

Ilustrasi simpanse sedang di hutan (Foto: Pexels/Timon Cornelisssen)

Jakarta, Jurnas.com - Virus dari manusia telah lama menginfeksi satwa liar, bahkan sebelum dunia mengenal COVID-19. Simpanse termasuk korban terbesarnya — namun kini kita tahu cara melindungi mereka.

Pada malam pergantian tahun, 31 Desember 2016, bencana senyap melanda hutan hujan di Taman Nasional Kibale, Uganda. Sebuah virus yang berasal dari manusia menyebar di komunitas simpanse Ngogo — salah satu populasi primata liar terbesar yang pernah dipelajari. Dalam hitungan minggu, 25 dari hampir 200 simpanse mati.

Penyakit Manusia, Korban Simpanse

Penyebaran penyakit dari manusia ke hewan — dikenal sebagai reverse zoonosis — telah menjadi kekhawatiran serius di kalangan ilmuwan primata. COVID-19 hanya memperjelas risiko tersebut. Studi terbaru yang diterbitkan di Biological Conservation membuktikan: langkah-langkah sederhana seperti memakai masker, menjaga jarak, dan karantina efektif melindungi simpanse dari penyakit manusia.

"Kami punya alasan kuat untuk berpikir bahwa simpanse yang sering dikunjungi wisatawan memiliki risiko lebih besar terhadap penularan semacam ini karena mereka terpapar pada lebih banyak orang setiap harinya," ujar Dr. Jacob Negrey, antropolog dari University of Arizona dan penulis utama studi terkini tentang wabah ini.

“Jenis tren yang kami dokumentasikan di sini benar-benar relevan dengan semua interaksi manusia-simpanse, bukan hanya yang terkait dengan penelitian,” ujarnya menambahkan. 

Ngogo: Laboratorium Alam dalam Hutan

Ngogo bukan sekadar lokasi riset biasa. Sejak 1994, kawasan ini telah menjadi tempat penelitian intensif tentang perilaku, ekologi, dan kesehatan simpanse. Kawasannya yang lebat dan populasi primata yang besar bahkan tampil di dokumenter Netflix, Chimp Empire (2023).

Dr. Negrey sendiri telah lebih dari 10 tahun mengamati simpanse di sana, memulai hari sebelum fajar, menjelajah hutan, mencatat perilaku, dan mengumpulkan sampel biologis.

“Kadang kamu hampir menabrak kawanan gajah tanpa sadar,” kenangnya. “Pekerjaan ini butuh cinta yang nyata pada simpanse dan dedikasi terhadap sains.”

Data yang Mengubah Kebijakan Konservasi

Tim peneliti menganalisis sekitar 70 sampel feses simpanse yang dikumpulkan antara 2015 dan 2019, mencakup periode sebelum, selama, dan sesudah wabah. Hasilnya mengejutkan: DNA virus manusia ditemukan dalam sampel, tetapi jumlahnya menurun drastis setelah protokol kesehatan diperketat.

Para peneliti menjaga jarak 15 kaki dari simpanse, mengubur semua kotoran manusia, dan menjauhi hutan saat sakit.

"Namun tidak pernah ada studi sistematis yang menunjukkan bahwa obat-obatan itu efektif," jelas Negrey. "Masalah ini begitu mendesak sehingga solusinya harus segera dikeluarkan bahkan sebelum kita memiliki bukti kemanjurannya."

Setelah wabah tahun 2017, mereka memperketat aturan. Siapa pun yang memiliki gejala tidak diperbolehkan memasuki hutan. Peneliti yang sehat harus menjaga jarak sekitar 20 kaki – sebaiknya 30 kaki. Mereka mengenakan masker, membersihkan tangan, dan menggunakan pakaian terpisah untuk bekerja di hutan dan kehidupan di kamp.

Pada tahun 2020, COVID-19 mendorong diberlakukannya aturan yang lebih ketat: para peneliti yang datang dari luar negeri dikarantina selama seminggu sebelum memasuki hutan. Saat ini, langkah-langkah keamanan untuk melindungi simpanse dari penyakit manusia tetap diberlakukan. 

Para peneliti menganalisis hampir 70 sampel kotoran simpanse yang dikumpulkan antara tahun 2015 dan 2019. Mereka membandingkan sampel sebelum, selama, dan setelah wabah 2016-2017.

Para ahli menemukan DNA virus dari manusia dalam sampel simpanse – tetapi melihat penurunan yang jelas dalam keberadaan virus setelah protokol ketat dimulai.

Pola batuk simpanse juga berubah. Sebelum aturan baru, simpanse batuk sekitar 1,73% dari waktu batuknya. Setelah aturan tersebut, angka tersebut turun menjadi 0,356%. Pada tahun 2022, setelah aturan karantina ditambahkan, angka tersebut turun lebih jauh lagi menjadi 0,075%.

"Kami sangat gembira dengan penelitian ini karena penelitian ini benar-benar menunjukkan – untuk pertama kalinya, sejauh yang saya ketahui – bahwa protokol ini berhasil," kata Negrey.

Melindungi Simpanse untuk Generasi Mendatang

Menariknya, jalan hidup Dr. Negrey dimulai bukan di laboratorium, tapi di kebun binatang. Ketertarikannya pada gorila kecil berkembang saat kuliah, ketika ia bertemu seorang primatolog yang mengubah jalur kariernya dari jurnalisme ke antropologi.

Kini, ia mendedikasikan hidupnya untuk memahami bagaimana penuaan dan penyakit memengaruhi simpanse — kerabat terdekat manusia di pohon evolusi.

“Mereka sangat unik, misterius, dan bisa mengajarkan banyak tentang diri kita sendiri,” katanya. “Melindungi mereka bukan cuma soal etika, tapi juga investasi untuk ilmu pengetahuan masa depan.” (*)

Sumber: Earth

 

KEYWORD :

Reverse zoonosis Simpanse Penyakit manusia Protokol konservasi primata




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :