Kamis, 23/10/2025 22:13 WIB

Pengamat Sebut Fitnah Keluarga Jokowi Strategi Politik Jelang Pilpres 2029

Gelombang narasi negatif terhadap mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya belakangan ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak.

Eks Ketua Komisi III DPR, Pieter Zulkifli Simabuea

 

Jakarta, Jurnas.com - Gelombang narasi negatif terhadap mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya belakangan ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Isu-isu yang tidak terverifikasi, seperti tuduhan ijazah palsu dan rekayasa politik merebak tanpa dasar yang kuat.

Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH. dalam catatan analisis politiknya menyoroti munculnya pola sistematis pembunuhan karakter yang berpotensi mencederai demokrasi.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan bila fitnah dibiarkan menjadi alat politik, maka yang hancur bukan hanya reputasi individu melainkan kepercayaan publik terhadap negara.

"Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (23/10).

Menurut Pieter Zulkifli, sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi adalah fase paling dinamis dalam sejarah modern Indonesia. Dalam periode itu, bangsa ini menyaksikan percepatan pembangunan infrastruktur, transformasi digital, dan ketegasan diplomasi luar negeri yang menegaskan kedaulatan.

Namun, kata Pieter Zulkifli, begitu kekuasaan berpindah tangan justru muncul gelombang narasi yang berupaya menggugat seluruh capaian tersebut dengan fitnah dan disinformasi yang sistematis.

Pieter Zulkifli mencontohkan ijazah palsu menjadi contoh kasus paling mencolok bagaimana tuduhan tanpa dasar bisa berkembang liar di ruang publik. Padahal, berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK), perguruan tinggi, dan lembaga hukum menyatakan tidak ada kejanggalan, namun isu itu terus dihidupkan seolah-olah kebenaran bisa ditentukan oleh opini bukan fakta hukum.

Fenomena ini juga menunjukkan betapa mudahnya ruang digital dikapitalisasi oleh kepentingan politik yang ingin menggiring persepsi publik. Setiap keberhasilan selalu punya bayangan.

Pieter Zulkifli menyatakan ketika kekuasaan mendekati akhir, muncul kelompok yang ingin menulis ulang sejarah dengan tinta negatif. Mereka tidak bicara data, tetapi menebar narasi bahwa semua pencapaian hanyalah pencitraan.

Tak hanya itu, dia menilai di era media sosial, satu unggahan viral bisa menghapus kerja keras satu dekade. Inilah tantangan terbesar pemerintahan pasca-Jokowi, yakni menjaga rasionalitas publik agar tidak larut dalam gelombang disinformasi yang diproduksi secara sistemik.

Pieter Zulkifli berpandangan bila fakta menunjukkan di bawah kepemimpinan Jokowi, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen per tahun meski dunia dilanda pandemi dan krisis energi global (BPS, 2024).

Kemudian, pembangunan infrastruktur juga dilakukan dengan masif mulai dari jalan tol, bendungan, hingga kawasan industri baru yang menjadi fondasi pemerataan ekonomi. Sementara itu, kebijakan hilirisasi mineral memperlihatkan arah baru kemandirian nasional.

"Tidak berlebihan bila Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan policy resilience terbaik di kawasan (World Bank, 2023)," kata Pieter Zulkifli.

Pieter Zulkifli juga mengatakan semasa kepemimpinan Jokowi wibawa Indonesia meningkat di kancah global. Jokowi disebut tampil sebagai pemimpin Asia Tenggara yang berani berbicara lugas kepada kekuatan besar dunia, termasuk Amerika Serikat dan Tiongkok.

Dia bahkan menegaskan bila Jokowi menjadi satu-satunya pemimpin Asia yang berani melakukan misi perdamaian ke Kyiv dan Moskow ketika krisis Rusia-Ukraina memanas. Di tengah tekanan politik global, Jokowi disebut tidak gentar menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam mengambil sikap.

Namun kini, kata dia, ketika masa jabatan telah usai, muncul gelombang fitnah baru yang diarahkan bukan hanya kepada Jokowi melainkan juga kepada keluarganya. Dari isu bisnis, relasi politik, hingga gosip pribadi, semuanya diorkestrasi dengan pola yang terukur.

Banyak pengamat menilai, ini bukan sekadar kritik, melainkan character assassination yang didesain untuk mematikan peluang politik keluarga Jokowi di 2029.

"Pertanyaannya: mengapa mereka begitu takut? Apakah karena elektabilitas keluarga Jokowi, terutama Gibran Rakabuming Raka, masih tinggi dalam berbagai survei nasional? Ataukah karena kekuatan moral dan kedekatan Jokowi dengan rakyat masih dianggap ancaman bagi peta politik lama yang oligarkis? Jika benar demikian, maka fitnah dan disinformasi itu tak lain adalah bentuk ketakutan terhadap persaingan sehat dalam demokrasi," kata Pieter Zulkifli.

Menurutnya, harus diakui ada agenda tertentu yang bermain di balik narasi-narasi destruktif itu. Dia menuturkan ada sebuah kekuatan politik yang berupaya menciptakan opini publik negatif agar Jokowi dan keluarga tersingkir dari gelanggang politik 2029.

"Taktik yang digunakan klasik: adu domba, framing media, dan eksploitasi sentimen publik melalui buzzer dan akun anonim. Mereka ingin menanamkan kesan bahwa Jokowi adalah masa lalu, padahal kontribusinya masih nyata dan relevan," katanya.

Untuk itu, Pieter Zulkifli mengingatkan Indonesia tidak boleh dibiarkan menjadi panggung politik yang dikuasai kebohongan dan dendam kekuasaan. Demokrasi hanya akan matang jika semua pihak bersedia bersaing secara sehat, bukan dengan cara menjatuhkan karakter lawan.

"Fitnah mungkin bisa mengubah persepsi sesaat, tapi sejarah akan menilai siapa yang bekerja dan siapa yang hanya berisik," kata dia.

Dia berpendapat ujian terbesar pasca-Jokowi bukan soal siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana bangsa ini menjaga akal sehatnya. Publik harus cerdas memilah informasi, media harus berani menegakkan etika, dan elit politik seharusnya malu menggunakan kebohongan sebagai alat perebutan simpati.

"Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati berdiri di atas kebenaran bukan kebencian," tegasnya.

KEYWORD :

Pieter Zulkifli Fitnah Keluarga Jokowi Strategi Politik Jelang Pilpres 2029 Ijasah Palsu Jokowi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :