Jum'at, 17/05/2024 04:22 WIB

Disebut Jaksa Tak Nikmati Korupsi BTS, Galumbang Keberatan Dituntut 15 Tahun Bui

Sampai hari ini saya tidak menerima apa yang dituduhkan. Hal ini juga diamini JPU dalam tuntutannya bahwa saya tidak menikmati hasil korupsi proyek BTS 4G.

Kuasa Hukum terdakwa Irwan Hermawan dan Galumbang Menak Simanjutak, Maqdir Ismail. (Foto: Jurnas/Ira).

Jakarta, Jurnas.com - Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Base Transceiver (BTS) 4G Kominfo Galumbang Menak Simanjuntak keberatan atas tuntutan 15 tahun penjara dari Jaksa Penuntut Umum.

Bukan tanpa alasan, Galumbang merasa dirinya sama sekali tidak menikmati hasil korupsi. Fakta itu diperkuat jaksa pada amar tuntutan yang menyebut dirinya tidak menikmati hasil korupsi.

Karenanya, Galumbang merasa keberatan dengan tuntutan jaksa yang dinilainya sangat tinggi.

"Sampai hari ini saya tidak menerima apa yang dituduhkan. Hal ini juga diamini JPU dalam tuntutannya bahwa saya tidak menikmati hasil korupsi proyek BTS 4G," kata Galumbang dalam pembacaan nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/11).

Galumbang membantah kesaksian dari Direksi PT Aplikanusa Lintasastra yakni Arya Damar dan Alfi Asman yang menuduh dirinya menerima fee sebesar 10 persen saat dilakukan rapat direksi.

Di mana dalam persidangan yang menghadirkan Direktur PT Aplikanusa Lintasastra Bramudija Hadinoto ditemukan beberapa fakta. Antara lain, tidak pernah diadakan rapat untuk membahas fee sebagaimakan disampaikan Arya Damar dan Alfi Asman.

"Sehingga bertentanganlah keterangan Saudara Saksi Alfi Asman yang menyatakan komitmen fee tersebut telah dibahas di rapat Direksi," ujarnya.

Sementara terkait uang yang diserahkan kepada terdakwaa Irwan Hermawan melalui beberapa perusahaan, kata dia, dengan menciptakan PO fiktif sebanyak 4 kali. Dia menilai uang tersebut bukan untuk dirinya, tetapi untuk kepentingan BAKTI.

"Saya menduga keras uang yang mereka serahkan itu adalah untuk menutupi kesalahan mereka," ujar Galumbang.

Sebab, dari fakta persidangan terungkap jumlah uang yang serahkan sebanyak 4 kali tidak cocok dengan komitmen fee sebesar 10 persen yang dituduhkan.

Pada fakta persidangan yang disampaikan Alfi Asman, Arya Damar, saksi lain dan terdakwa Irwan Hermawan dan terdakwa Windy Purnama, PT Aplikanusa Lintasarta hanya mengeluarkan sekitar Rp 60 miliar.

"Sementara bila merujuk komitmen fee 10 persen seharusnya adalah Rp240 Miliar. Jadi dapat dilihat dengan jelas tuduhan komitmen fee 10 persen hanyalah karangan belaka yang mungkin saja bertujuan untuk menutupi perbuatan yang mereka lakukan, yang pada akhirnya memberatkan saya di dalam perkara ini," ucap Galumbang.

Galumbang juga mempertanyakan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Jaksa pada Kejaksaan Agung. Dia merasa heran dengan penerapan pasal ini karena dirinya tidak menikmati hasil korupsi seperti yang disampaikan jaksa dalam tuntutan.

“Sehingga teranglah fakta di persidangan dimana saya kutip pernyataan saksi ahli Bapak Jamin Ginting bahwa “TPPU itu khan ada uangnya dulu Pak baru disembunyikan, kalau Bapak enggak punya uang apa yang mau Bapak sembunyikan” di mana saya sangat jelas, tidak pernah menerima uang korupsi dari Proyek BTS 4G BAKTI ini namun tetap didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)," ujarnya.

Mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia ini juga keberatan atas penyitaan aset yang dilakukan penyidik. Sebab sejumlah aset yang disita diperoleh secara sah sebelum pengadaan proyek BTS 4G.

"Beberapa aset masuk dalam laporan pajak pribadi saya sejak lama. Namun disita oleh penyidik," ujarnya.

Bahkan, kata dia, aset-aset tersebut juga telah diikutsertakan dalam tax amnesty pertama pada tahun 2016 dan tax amnesty pada kedua tahun 2021. Untuk itu ia merasa heran dengan langkah penyitaan ini.

Lebih lanjut Galumbang merasa terkejut terkait jaksa dalam persidangan yang  seolah-olah menganggap kondisi keamanan di Papua yang mengancam korban jiwa sebagai hal biasa yang bisa diantisipasi, sehingga menganggap tidak dapat dimasukkan sebagai peristiwa force majeure.

Menurut dia, membangun di Papua tidak hanya dengan keahlian, tetapi dengan air mata.

"Kondisi keamanan bukanlah hal yang biasa, orang ditembaki dan digorok bukanlah hal biasa seperti halnya bencana gunung berapi atau banjir yang bisa di antisipasi," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, seharusnya, negara bertanggung jawab dan hadir dalam menjamin keamanan di saat pihaknya yang juga rakyat Indonesia berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan di Papua yang ironisnya adalah proyek Negara sendiri, bukan malah diputarbalikkan menjadi suatu keadaan yang biasa-biasa saja.

"Saya khawatir jika hal ini dibenarkan maka orang- orang atau perusahaan-perusahaan menjadi enggan membangun di Papua karena dibunuh, digorok, ditembaki, diculik dan diintimidasi dikategorikan sebagai hal yang biasa-biasa saja dan resiko ini hanya ditimpakan kepada rakyat," ujarnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Galumbang, Maqdir Ismail mengatakan bahwa penerapan pasal pencucian uang terpenuhi jika seseorang sudah menerima sejumlah uang dan dipergunakan. "Kalau tidak pernah menerima, apa yang dicuci?" kata Maqdir Ismail.

Terkait dugaan terjadinya korupsi dalam proyek BTS 4G Kominfo, menurut dia, seharusnya diselesaikan dahulu pada ranah administratif. Sebab proyek tersebut masih berjalan.namun justru yang dikejar adalah penyelesaian pidananya. "Karena mereka telah berniat baik untuk menyelesaikan persoalan ini. Padahal kerugian negara tidak ada," tuturnya.

Atas dasar itulah, ia menyebut, seharusnya Galumbang Menak dapat dibebaskan. "Jadi, harusnya dibebaskan. Karena konsorsium rugi. Plus cara penghitungan BPKP juga keliru. Jaksa tidak bisa membuktikan apa pun," kata Maqdir.

 

KEYWORD :

Korupsi BTS Kominfo Kejagung Galumbang Menak pledoi nota pembelaan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :