Minggu, 28/04/2024 16:40 WIB

Prof. Didik: Negara dan Pemerintah Harus Jaga Aturan Main Jagat Maya

Ada indikasikan pemerintah dan aparat negara juga terlibat dalam masalah ini sehingga bukan hanya sistem sosial politik di jagat maya tidak ada yang menjaga tetapi justru menjadikan dan menambah keadaan semakin runyam.

Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D., (kiri). Foto: tangkapan layar

JAKARTA, Jurnas.com - Memasuki tahun 2024, suhu panas dunia politik sudah semakin terasa. Nuansa polarisasi yang menjadi “warisan” Pilpres dan Pilkada di masa sebelumnya belum juga tuntas, tetapi riuh ramai jagat maya sudah semakin gaduh di tahun ini. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang sangat menganggu dalam membangun suasana sehat demokrasi di Indonesia.

Hal ini mengemuka dalam diskusi yang dihelat Universitas Paramadina Jakarta tentang “Menangkal Ujaran Kebencian Dalam Pemilu 2024”, Kamis (2/3/2023). Hadir sebagai pembicara Peneliti PUSAD dan Dosen Paramadina Husni Mubarok, MA., dan Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi juga Dosen FISIP Universitas Diponegororo (Undip) Semarang, Wijayanto, Ph.D.

Rektor Universitas Paramadina Jakarta Prof. Didik J Rachbini, M.Sc, Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan bahwa jagat maya saat ini menjadi sebuah wilayah besar, rumit dan arus informasi yang rumit dan tidak ada aturan di dalamnya.

“Inilah metamorfosa kondisi jagat maya saat ini, yang berpengaruh terhadap dunia nyata,” kata Prof. Didik

Menurutnya, dunia nyata kemudian rusak seperti Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis.  Jagad maya sebagai lingkungan masyarakat yang tak lagi peduli dengan ‘Surau” (dalam hal ini adalah aturan dan tatanan agama), sehingga masyarakat di jagat maya hidup tanpa aturan.

“Dari waktu ke waktu jagad maya yang dipenuhi oleh ujaran kebencian, sumpah serapah, hoaks, permusuhan dan sebagainya menyebabkan tatanan, institusi, etika, budaya masyarakat di dunia nyata hancur,” ujar Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Paramadina ini.

Prof. Didik meminta pemerintah dan aparat negara di dalam kondisi genting seperti ini perlu menjadi penjaga atauran main, tiang institusi, dan tauladan dalam perilaku di jagat maya, bukan sebaliknya terlibat di dalam kerusakan tatanan tersebut karena berpihak di dalam polarisasi. Selama ini, kata Didik, ada indikasikan pemerintah dan aparat negara juga terlibat dalam masalah ini sehingga bukan hanya sistem sosial politik di jagat maya tidak ada yang menjaga tetapi justru menjadikan dan menambah keadaan semakin runyam.

Husni Mubarok, Dosen Universitas Paramadina dalam paparannya menyampaikan ujaran kebencian perlu diwaspadai karena ada banyak sejarah bencana kemanusiaaan dan pelanggaran HAM yang terjadi akibat adanya ujaran kebencian yang diorkrestasi. “Seperti kasus konflik ttnis di Rwanda tahun 1994, kerusuhan di Tanjung Balai tahun 2016 akibat kebencian etnis, serta permainan politik identitas yang terkait dengan kontestasi Pilkada DKI 2017,” kata Husni Mubarak.

Menurutnya, ujaran kebencian yang muncul terjadi karena dua faktor yaitu histori konflik dan memori kekerasan yang pernah terjadi di suatu wilayah, serta tidak adanya upaya mediasi serta kontra narasi yang kuat saat provokasi ujaran kebencian terjadi.

Sedangkan penanganan ujaran kebencian dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu secara moralitas, sanksi administrative, hingga pidana.  “Adanya penegakan hukum yang proporsional akan membuat para pelaku ujaran kebencian tidak lagi sewenang-wenang dalam melakukan hasutan dan provokasi,” katanya.

Di sisi lain, Husni juga memandang problem penindakan ujaran kebencian di Indonesia masih mengalami kesulitan karena penanganan ujaran kebencian seringkali berkaitan dengan kasus-kasus yang seharusnya tidak masuk ke ranah pidana seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan serta penistaaan yang bisa memunculkan multi interpretasi.

“Oleh karenanya, penanganan ujaran kebencian tidak bisa serta merta diterapkan begitu saja oleh pemerintah karena peluang untuk terjadinya pemberangusan kebebasan ekspresi bisa saja terjadi,” tutur Husni Mubarak.

Sementara Wijayanto, Dosen Universitas Diponegoro, dalam paparannya menyampaikan bahwa polusi digital dalam bentuk hoax dan hate speech telah berlangsung lama dan terjadi di 80 negara.

“Berdasarkan Riset oleh Oxford tahun 2020, ujaran hoax dan hate speech telah diorkestrasi di banyak negara yang dilakukan secara terorganisir oleh cyber troops, pasukan siber yang didanai,” kata Wijayanto.

Wijayanto juga menambahkan riset LP3ES dan Leiden menyimpulkan bahwa pemerintah dan parpol juga terlibat dalam operasi cyber troops ini.

Riset yang dilakukan oleh LP3ES dan Leiden dengan memotret jutaan percakapan di media sosial pada akun anonim dan pseudonim juga melihat bahwa karakteristik cyber troops adalah terorganisir serta membawa agenda promosi kebijakan pemerintah. Namun di masa Pilpres dan Pilkada cenderung men-support kandidat tertentu serta menjelekkan (black campaign) kandidat yang tidak didukungnya.

Potret terakhir adalah dengan melihat praktik cyber troops yang melontarkan hate speech dan hoax pada kampanye Pilpres 2019. di masa tersebut muncul hashtag #2019gantipresiden serta mengasosiasikan Jokowi pada identitas PKI dan terlibat dalam kriminalisasi ulama. “Kontra narasi dari kampanye hate speech ini juga bermunculan dengan ramai seperti isu agama dari kandidat lawan yaitu Prabowo dan Sandi serta praktik peribadatan dari kedua kandidat ini,” ujarnya.

Wijayanto yang juga berperan sebagai praktisi media sosial menginisiasi pembentukan gerakan content moderation bersama 12 organisasi untuk melakukan edukasi serta filter terhadap konten hoax dan ujaran kebencian.

KEYWORD :

Paramadina Prof. Didik Hoax Ujaran kebencian




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :