Jum'at, 17/05/2024 22:06 WIB

Asosiasi Sebut Industri Perunggasan Nasional Sedang Tidak Baik-baik

Persaingan usaha perunggasan cenderung tidak sehat membuat banyak peternak berguguran, akibat kerugian berkepanjangan. 

Aksi demonstrasi peternak ayam. (Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

JAKARTA, Jurnas.com - Sekretaris Jendral (Sekjen) Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Sugeng Wahyudi menilai, industri perunggasan nasional sedang tidak baik-baik saja.

Demikian dia sampaikan pada acara Temu Akbar Peternak bertajuk "50 Tahun Eksistensi Peternak Broiler 1973-2023" di Gedung Graha Saba Buana, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (23/2).

"Kami berkumpul untuk berkonsolidasi membangun solidaritas dan sinergisitas antarpeternak. Mengabaikan egosektoral, agar eksistensi peternak mandiri UMKM bisa bertahan dari kondisi bisnis yang tidak menguntungkan," ujar Sugeng.

Sugeng mengeluhkan persaingan usaha perunggasan cenderung tidak sehat membuat banyak peternak berguguran, akibat kerugian berkepanjangan. Di sisi lain, perusahaan integrasi masih tumbuh dan untung.

"Padahal peternak bagian integral ekonomi nasional yang tidak bisa dikesampingkan. Karena telah menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan membantu perekonomian pedesaan, perkotaan hingga nasional,"tutur Sungeng.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (PINSAR) Indonesia, Singgih Januratmoko mengatakan kondisi tiga tahun terkahir, membutuhkan uluran tangan pemerintah.

"Saat ini harusnya ditetapkan sebagai darurat peternakan. Peternak rakyat tergerus, hingga hanya 10 persen saja sementara peternak pabrik mencapai 90 persen. Pengangguran dipastikan juga meningkat," tutur Singgih, yang juga anggota Komisi VI DPR RI.

Menurut Singgih, aturan pemerintah sudah bagus, tetapi aplikasi dan pengawasan di lapangan masih belum berjalan dengan baik. "Seharusnya pemerintah memberi perlindungan dan pemberdayaan peternak untuk meningkatkan skala usaha, seperti diamanatkan konstitusi," tegas Singgih.

Ia pun merujuk Undang-Undang No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) juncto UU No.41/2014. Pasal 32, pemerintah pusat dan daerah mengupayakan sebanyak mungkin masyarakat menyelenggarakan budidaya ternak, memfasilitasi dan membina untuk tumbuh kembangnya peternak, koperasi dan badan usaha bidang peternakan.

"Tapi tiga tahun terakhir keadaan tak menentu. Banyak peternak yang akhirnya dipailitkan atau dipidanakan, karena tak bisa membayar utang kepada pabrik pakan," keluhnya.

Singgih melihat pascalahirnya UU PKH, justru perunggasan nasional cenderung melaju ke liberalisme. Kompetisi yang tidak imbang tersebut menyingkirkan peternak kecil, “Kami menutut hak keadilan berusaha, perlindungan dan pemberdayaan peternak kepada pemerintah sebagai otoritas pemangku kepentingan dan kebijakan,” ujar Singgih.

Dia menambahkan, peternak mandiri tidak ingin mengalahkan perusahaan integrasi. Namun yang diharapkan adalah tumbuh bersama-sama, bukan berkompetisi tapi berkolaborasi.

"PR kita masih banyak, tanpa kolaborasi antara perusahaan integrasi dengan peternak rakyat, pasar bebas perunggasan akan merugikan peternak kecil yang juga anak bangsa yang memiliki hak berusaha dan memperoleh keadilan dalam berbisnis," pungkasnya.

Senada dengan Singgih, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengingatkan pentingnya kehadiran pemerintah dalam melindungi peternak mandiri. Menurutnya, corak wajah industri peternakan hari ini, merupakan kelalaian pemerintah.

"Kami sedang menginvestigasi mala-admisnistrasi Saat ini ombudsman sedang mendalami dugaan mala adminisrasi kebijakan stabilisasi pasokan live bird yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian (Kementan)," tuturnya.

Mala-administrasi terjadi karena kelalaian atau ketidakmampuan lembaga negara menjalankan peraturan dan tugas-tugasnya.

Dia mencatat, pemerintah tidak hadir dalam kondisi perunggasan sangat genting, Yakni pada 1998 ketika krisis moneter menyebankan 50 persen peternak kolaps dan tidak ada yang menyentuh.

"Dan akhirnya perusahan integrasi masuk ke budidaya," ujar Yeka yang banyak melakukan kajian peternakan saat menjadi Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka).

Saat flu burung dan pandemic Covid-19, pemerintahan tidak sigap, sehingga mengambil langkah impor yang besar untuk pangan. "Suplai yang mendadak tinggi mengakibatkan peternak kolaps," tutur dia.

PR lain, menurut Yeka adalah perlunya asosiasi peternakan unggas satu suara dalam meminta perlindungan kepada pemerintah. Dengan adanya Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan, ia berharap kepentingan peternak mandiri bisa terlindungi.

Dalam kesempatan itu Sekber Asosiasi Perunggasan yang terdiri dari PINSAR, GOPAN, dan Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) menegaskan, 50 tahun peternak mandiri memutar perekonomian nasional mengingatkan para peternak harus bertransformasi ke arah modernisasi dari kandang open house ke closed house.

Sekber meminta dengan adanya kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) nilainya ratusan triliun rupiah, pemerintah membuat regulasi yang jelas agar industri perunggasan nasional terutama peternak mandiri bisa meningkat kembali hingga 50 persen, dan selamat dari krisis ekonomi dunia.

KEYWORD :

Industri Perunggasan Nasional GOPAN) Sugeng Wahyudi Yeka Hendra Fatika




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :