Sabtu, 04/05/2024 07:13 WIB

Tuntutan JPU dalam Kasus Dugaan Korupsi PE Minyak Goreng Dinilai Tak Mendasar

Tuntutan JPU dalam Kasus Dugaan Korupsi PE Minyak Goreng Dinilai Tak Mendasar.

Illustrasi-Minyak goreng curah siap jual di pasar tradisional. (Jurnas/Foto Istimewa)

JAKARTA, Jurnas.com - Sejumlah praktisi hukum menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO dinilai tidak berdasarkan fakta persidangan.

Praktisi Hukum, Hotman Sitorus menilai tuntutan Jaksa tak mendasar. Sebab, bagaimana mungkin salah satu dari mereka dituntut membayar uang penganti sebesar Rp 10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka atau perusahaan yang sebesar itu.

"Fakta persidangan menjelaskan semuanya. Majelis hakim seharusnya menolak tuntutan tersebut, dan mempertimbangkan semua fakta-fakta di persidangan," kata Hotman dalam keterangan resmi yang diterima media, Rabu, 28/12.

Menurut Hotman, di dalam persidangan beberapa ahli meragukan adanya kerugian negara, dan JPU pun sulit membuktikan adanya kerugian negara. Sementara, tuntutan uang penganti biasanya hanya untuk orang yang memperoleh kekayaan dari tindak pidana korupsi itu.

"Uang pengganti hanya bisa diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi," tegasnya.

Hotman mengatakan, JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Harus kembali ke konstitusi kita adalah negara hukum.

"Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung. Apakah betul, di negara hukum berlaku seperti itu, bisa nunjuk siapa aja untuk menghitung berdasarkan asumsi semata," kata Hotman.

Menurut Hotman, mestinya JPU memperhatikan fakta-fakta persidangan, seperti yang disampaikan Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Haula Rosdiana.

Haula mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh, bahkan dia menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.

"Hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur penggunaan metode penghitungan kerugian perekonomian negara," katanya.

Menurut Haula, hal ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir.

"Kalau ini belum diatur bahaya, karena setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," ungkapnya.

Menurut Haula, metode menggunakan input-output (I-O) yang digunakan untuk menghitung kerugian tak tepat. Sebab, metode itu biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan karena masih berdasarkan asumsi.

"Bukan sesuatu yang real. Berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum, fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Apalagi kok pakai tabel I-O tahun 2016, padahal sekarang aja 2022," tegasnya.

Dia menyampaikan, pengusaha juga mengalami kerugian, dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga CPO melambung.

"Ada yang tidak dijelaskan dengan detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET, bagaimana dia tetap harus menjual meskipun rugi dibawah harga keekonomisan," jelas Haula.

Hal janggal lainnya, menurutnya, adalah terkait tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara.
Oleh karenanya, ia meminta agar ada kejelasan terkait hal ini dengan memberikan kepastian hukum.

“Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode yang jelas,” tegasnya.

Pakar hukum dari Universitas Al Azhar Jakarta Dr Sadino menjelaskan, istilah uang penganti sangat berbeda dengan ganti rugi. Yang namanya uang pengganti harus berdasarkan perhitungan riil dan sesuai fakta. Artinya yang diterima terdakwa dan keuntungan terdakwa. Jika terdakwa tidak dapat keuntungan dan tidak dapat BLT bagaimana suruh mengganti BLT ya.

"Adanya jumlah uang pengganti ya harus didukung bukti dan perhitungan riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa bukti tanda terima dan tentu menerima dengan cara melawan hukum. Sementara, uang ganti rugi itu bisa bersifat subjektif yang berasal dari kerugian riil dan bisa ditambah dengan potensi keuntungan yang diharapkan jika uang itu dikelola," tambah Sadino.

Kalau melihat tuntutan kepada para terdakwa, kata Sadino, uang penganti Rp 10 triliun itu tak berdasarkan pada fakta-fakta persidangan. Karena tak ada kerugian negara dan memperkaya diri atau perusahaan.

"Sehingga wajar jika dalam nota pembelaan (pleidoi), terdakwa menepis tuntutan JPU," kata Sadino.

Menurut Sadino, masalah utamanya adalah perbuatan administrasi semua, sehingga dasar tuntutan tidak mengindahkan fakta-fakta di persidangan yang juga menyebutkan eksportir sudah memenuhi DMO yang menjadi prasyarat pemberian Persetujuan Ekspor.

“Sebagai pengurus asosiasi ya wajar ketemu yang penting tidak mempengaruhi pejabat apalagi tidak ada suap terkait pengurusan persetujuan ekspor. Apalagi terdakwa hadir dalam pertemuan tersebut bukan sebagai karyawan atau direksi sebuah perusahaan melainkan asosiasi,” jelasnya.

Fakta yang sudah diketahui oleh umum, terusnya, adanya kelangkaan minyak goreng disebabkan adanya kebijakan kontrol harga (price control), dalam hal ini Harga Eceran Tertinggi (HET). Dimana Kementerian Perdagangan sempat menetapkan HET yang diatur dalam Permendag Nomor 06 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.

Fakta HET ini mesti diperhatikan itu kebijakan pemerintah. "Seharusnya, JPU melihat fakta penyebab terjadinya kelangkaan minyak goreng adalah kebijakan kontrol, price control policy yang tidak didukung dengan ekosistem yang baik. Itulah sesungguhnya yang menyebabkan kelangkaan," katanya.

“Dalam persidangan terungkap, sebelum ada HET, minyak goreng masih ada di pasaran, meski harganya cukup tinggi, hal ini mengikuti harga fluktuatif pasar global,” lanjutnya.

"Setelah terbit aturan HET, semua produk minyak goreng hilang di pasaran. Selanjutnya setelah kebijakan HET dicabut, seketika itu produk minyak goreng kembali ada di pasaran," ujarnya.

Bahkan, lanjut Sadino, seorang pakar kebijakan Rizal Mallarangeng saat bersaksi di persidangan beberapa waktu lalu, menerangkan tidak ada lembaga negara yang bisa mengontrol distribusi minyak goreng laiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti Pertamina.

"Negara tidak mengontrol minyak goreng dari hulu, tidak ada perusahaan milik negara yang memproduksi dan memastikan distribusi minyak goreng seperti Pertamina," ujar Rizal Mallarangeng.

Sadino berpendapat, seharusnya JPU itu membuat surat tuntutan yang sesuai fakta persidangan secara lengkap. Dan tidak mengaburkan kebenaran yang terungkap di persidangan," pungkasnya.

KEYWORD :

Tuntutan JPU Kasus Minyak Goreng Hotman Sitorus




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :