Kamis, 16/05/2024 21:25 WIB

Saksi Kasus Minyak Goreng: Prosesnya Sudah Sesuai Prosedur

Saksi Kasus Minyak Goreng: Prosesnya Sudah Sesuai Prosedur.

Petani sawit sedang mengumpulkan Tandan Buah Segar (TBS) sawit. (Biro Humas Kemenkeu)

JAKARTA, Jurnas.com - Dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi permohonan Persetujuan Ekspor (PE) Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum mampu membuktikan adanya korupsi atau perbuatan melawan hukum.

Bahkan mantan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan mengatakan, pihaknya mengakui tidak ada prosedur yang dilanggar. Selain itu, ia juga menyebutkan pelaku usaha berperan penting dalam mengatasi soal kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi di Indonesia.

Hal tersebut juga terungkap dalam persidangan sebelumnya, yakni lima orang saksi yang diajukan JPU menyatakan semua permohonan PE CPO dan turunannya lengkap sesuai aturan yang berlaku.

Kelima saksi yang memberikan keterangan yakni Ringgo, Demak Marsaulina, Almira Fauzi, Fadro dan Fadlan. Mereka merupakan tim verifikasi dalam proses penerbitan PE di Kemendag.

Kelima saksi menyatakan semua dokumen yang diajukan sebagai syarat PE sudah sesuai dengan Permendag 2 tahun 2022 dan Permendag 8 tahun 2022 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Praktisi Hukum, Hotman Sitorus mengatakan, dengan pengakuan tersebut berarti tuduhan korupsi atau perbuatan melawan hukum tidak terbukti, sehingga dalil JPU yang menyatakan adanya korupsi di pengurusan PE CPO terbantahkan.

Menurut Hotman, dugaan korupsi sejatinya berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20 persen kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya.

"Aturan tersebut, syarat mutlak bagi para produsen CPO, dan turunannya, untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri. Tanpa itu, pelaku usaha tak bisa mengekspor CPO dan produk turunannya," kata Hotman melalui siaran persnya, Selasa (4/10).

Menurut Hotman, tuduhan korupsi dalam kasus minyak goreng dengan melanggar ketentuan Pasal 25 dan Pasal 54 ayat (2) huruf a, b, e, f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, telah menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahaminya.

Umumnya, korupsi terjadi dalam dua perbuatan yaitu suap atau pengadaan barang dan jasa. Jika kemudian ada korupsi selain dari dua perbuatan tersebut maka perlu dikritisi. Hal ini terkait alasan ketaatan terhadap prinsip hukum. Hukum adalah hukum dan bukan politik.

"Tuduhan korupsi karena kelangkaan minyak goreng semestinya tidak terjadi karena tidak ada suap dan tidak ada pula pengadaan barang atau jasa," kata Hotman.

Hotman menjelaskan, tiga unsur korupsi adalah (1) Pebuatan melawan hukum, dan (2) Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, dan (3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain.

"Tanpa ada pebuatan melawan hukum, tanpa ada kerugian keuangan negara, dan tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain juga tidak ada korupsi," jelasnya

Menurutnya, ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan.

Dari analisis surat dakwaan Jaksa dan pemeriksaan saksi pada persidangan korupsi kelangkaan minyak goreng, ketiga unsur tersebut kabur. Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara satu unsur dengan unsur lain. Tidak terdapat hubungan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dengan kerugian keuangan negara. Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian keuangan negara dengan memperkaya perusahaan.

Unsur Pertama, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang didakwa adalah menggunakan dokumen yang dimanipulasi dalam pengurusan PE melalui aplikasi INATRADE dalam kurun waktu 01 Februari 2022 s.d. 16 Maret 2022 (lebih kurang dua bulan).

Unsur kedua, Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara yang didakwa sebesar Rp. 6.194.850.000.000 yang diatribusikan kepada tiga group perusahaan dengan jumlah yang berbeda.

Besaran kerugian keuangan negara yang merupakan total anggaran pengeluaran pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disalurkan kepada 20,5 juta keluarga yang masuk dalam Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) dan Program keluarga Harapan serta 2,5 juta Pedagang kali lima yang berjualan makanan gorengan sebesar Rp 100.000 perbulan diberikan selama 3 bulan untuk April, Mei, dan Juni dibayar dimuka pada April 2022 sebesar Rp 300.000.

"Dengan kata lain, kerugian keuangan negara muncul karena ada BLT. Tidak ada BLT maka tidak ada kerugian keuangan negara. Lebih lanjut tidak ada kerugian keuangan negara maka tidak ada korupsi," kata Hotman.

Merespon kesaksian itu, pengacara Deny Kailimang menyatakan, sejauh ini proses terkait PE CPO dan produk turunannya telah sesuai prosedur.

Denny mengakui, sesuai keterangan saksi maka sudah sesuai prosedur dalam ekspor minyak goreng yang dilakukan kliennya. Hal tersebut dibuktikan diterbitkannya PE. Sementara terkait terafiliasi diambil dari mana tidak ada aturannya.

"Jadi itu 3 point tadi. Terafiliasi, sampai D1, kemudian perkebunan inti dan tidak ada perlu," tandasnya.

Diketahui dalam dakwaan jaksa menguraikan akibat tidak memenuhi ketentuan DMO atau ketentuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, setidaknya ada 3 grup perusahaan minyak goreng, diuntungkan dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.6 triliun dan perekonomian negara Rp 12,3 triliun atau total 18,3 triliun.

Sebaliknya perusahaan yang rugi karena meskipun sudah memenuhi keewajiban DMO maupun DPO tetap ekspor terganggu dan PE CPO juga tidak dapat dijalankan akibat kebijakan yang selalu berubah ubah.

KEYWORD :

Kasus Minyak Goreng Persetujuan Ekspor Hotman Sitorus Domestic Market Obligation




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :