Sabtu, 18/05/2024 11:53 WIB

Kementerian dan Pelaku Industri Tolak Usulan Pelabelan BPA

Merusak iklim investasi di Indonesia

Gedung Kementerian Perindustrian

Jakarta, Jurnas.com - Kementerian Perindustrian dan pelaku usaha menolak usulan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Arzetti Bilbina yang mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan Bisphenol A (BPA) dalam pembuatan wadah plastik makanan.

Selain belum memiliki studi yang jelas, usulan itu juga dapat menghambat proses pemulihan ekonomi dan bisnis di Indonesia yang tengah berjuang bangkit dari masa pandemi.

"Janganlah membuat-buat wacana BPA tersebut jadi isu karena persaingan. Karena, itu akan merusak iklim investasi di Indonesia," ujar Franky Welirang, pelaku usaha dari Indofood yang memproduksi AMDK galon dengan brand CLub, Jumat (12/11/2021).

Franky meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak menelan mentah-mentah semua isu yang beredar di masyarakat terkait BPA dalam kemasan pangan itu.

"Sebaiknya (BPOM) pelajari dampak dari yang sudah ada dari produk-produk kemasan pangan yang ada bahan BPA-nya, apakah ada studi yang sudah menyatakan dampak dari BPA dalam kemasan pangan itu atau itu hanya sekedar mendapatkan hasil studi di luar negeri saja,” kata Franky.

Franky mengajak semua pihak untuk bisa berpikir secara wajar dan logik dalam menangani isu BPA ini.

“Mari kita berpikir secara wajar dan logik. Tidak bertindak secara emosional dan mematikan ekonomi. Karena rangkaiannya panjang dan banyak tenaga kerja yang akan terdampak,” katanya.

Penolakan tegas juga disampaikan Kemenperin selaku Kementerian yang mengampu pertumbuhan industri di Indonesia.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar (Mintegar), Edy Sutopo, dengan tegas mengatakan Kemenperin tidak setuju dengan sertifikasi atau labelisasi BPA Free pada kemasan pangan.

Menurutnya, sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia. Substansi isunya sendiri menurutnya masih debatable.

“Sebenarnya, yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri,” ucapnya.

“Jadi, menurut kami sertifikasi BPA saat ini belum diperlukan. Sertifikasi BPA itu  hanya  akan menambah cost  atau mengurangi daya saing  Indonesia,” jelasnya.

Menurut Edy, seharusnya BPOM mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu. Misalnya, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini.

Adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA. Kemudian adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.

“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.
 
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan pangan yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.

Menurut Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat.

“Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya.

Perlu diketahui ambang batas migrasi BPA di Indonesia (0,6 bpj) masih sangat sesuai dengan mayoritas ambang batas negara-negara maju di dunia lainnya, seperti Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj) dan USA (tidak ada batasan spesifik).

KEYWORD :

Bisphenol A Arzetti Bilbina Kementerian Perindustrian BPOM




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :